Minggu, 08 Februari 2009

Benteng Portugis Jepara, Imperialisme Harus Dilawan!!!




[gallery columns="4"]

 
Mumpung masih ada sedikit waktu libur di awal tahun 2009, kuputuskan untuk mengisinya dengan mengunjungi tempat wisata yang tak jauh dari rumah. Setelah memilah-milah daftar interesting places yang belum pernah dikunjungi, akhirnya jatuh pilihan ke Benteng Portugis Jepara sekaligus berlanjut jalan-jalan ke kotanya.


Sudah lama nian tidak menjejakkan kaki di kota ukir, setelah terakhir kali waktu masih duduk di bangku SD berwisata ke Pantai Kartini. Hmm…kira-kira seperti apa ya kemajuan bumi Kartini sekarang?


 


Benteng Portugis, 02 Januari 2009; Membuka Lembar Sejarah


Sekitar jam 8 pagi, perjalanan kami sekeluarga pun dimulai. Dengan rencana mengambil rute Rembang-Kaliori-Juana-Tayu-Dukuhseti-Keling selanjutnya singgah di Benteng Portugis. Di sepanjang jalur Juana-Tayu, tampaklah suasana alam yang sangat kontras. Selepas Kota Juwana hingga Desa Kepoh, Kec. Wedarijaksa lahan di kanan kiri jalan didominasi oleh petak-petak tambak ikan bandeng yang dikelola masyarakat dan selebihnya mulai Margoyoso hingga Kecamatan Tayu dikelilingi areal persawahan dan ladang. Mengingat daerah ini  adalah kawasan yang terletak di lereng Gunung Muria yang subur, berkecukupan air dan berudara sejuk, sehingga lebih cocok dijadikan lahan pertanian.


 


Setelah melewati Kota Kecamatan Tayu, kuarahkan perjalanan ke arah Jepara. Di km 7, ruas jalan Tayu-Jepara bercabang dua, arah lurus melewati Kec. Cluwak, sedangkan yang berbelok ke kanan menuju Kec. Dukuhseti. Dan jalur inilah yang kupilih, karena relatif lebih dekat menuju Benteng Portugis.


 


Selepas kota Kecamatan Dukuhseti, kami dihadang kondisi jalan yang sempit, berdebu, rusak dan bopeng di sana sini. Kami membatin, apakah karena ini hanya jalur alternatif menuju Jepara, keberadaan jalan ini seolah dianaktirikan, sehingga kerusakan yang menahun didiamkan tanpa perawatan ?


 


Memasuki Kecamatan Keling, dimana posisi benteng Portugis sudah semakin dekat, Jajaran pegunungan Rengas, yang terletak Gunung Muria, semakin terlihat jelas di depan mata. Hawa sejuk khas pegunungan mengalir segar, perkebunan karet yang diusahakan PT Perkebunan Nusantara IX Jateng yang rindang menghijau, areal persawahan yang sedang memasuki musim bercocok tanam, antena relay TVRI yang sudah puluhan tahun mendiam di salah satu puncak bukit  dan hamparan pesisir pantai dengan ombak membuih adalah nuansa alam di sekitar obyek wisata yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram abad XVII.


 


Dan tampak satu pemandangan mencolok, yaitu Bukit  Ujung Watu yang dikepras untuk diresize menjadi area pembangunan PLTN. Bukit yang semula hijau tampak memutih oleh warna batu kapur setelah dipapas, seolah terbengkalai, tak tampak satu aktivitas apapun. Apakah proyek ini  terkatung-katung tanpa kejelasan arah akibat aksi keberatan sebagian besar warga Jepara atas pembangunan PLTN di daerahnya?


 


Setelah dua jam perjalanan dari Rembang, sampailah kami di kawasan wisata Benteng Portugis. Tugu yang menggambarkan simbol sebuah benteng berdiri di depan pintu masuk, sekilas mirip buah catur benteng dalam bentuk raksasa. Dengan tiket Rp3.000,00 per kepala dan bea parkir Rp2.000,00 untuk kendaraan roda empat, akhirnya kami mendapat permit memasuki obyek wisata sejarah yang dikelola oleh Pemkab Jepara ini.


 


Kendaraan kami langsung disambut tanjakan curam dan kelokan tajam untuk mencapai puncak benteng. Hmm…jadi ingat tanjakan Cemorosewu, yang tempo hari kami daki. Anggap saja ini miniaturnya. He he he… Setelah kendaraan terpakir, kami masukki areal benteng yang kokoh, kekar dan tinggi menjulang dengan ketinggian kurang lebih 30 m di atas pantai Desa Banyumanis, Kec. Keling. Tampaklah perairan luas Laut Jawa yang begitu luas tak berujung, permukaan air tampak berkilauan diterpa cahaya mentari, hamparan batu karang  yang seolah menjadi pelindung benteng dari debur gelombang, rentetan ombak yang saling berkejaran tanpa henti, Pulau Mandalika dengan mercu suarnya yang seolah mengambang di atas laut, teduh langit dan awan tipis di bawahnya meng-assist suasana pagi yang cerah di atas semenanjung Jepara. Sungguh lukisan alam yang tiada bandingnya. Serasa kami berdiri jauh di atas laut, seolah dunia dalam genggaman kami.


 


 


Beberapa pohon asam jawa tumbuh menghijau dan asri di dalam benteng, dan bisa jadi usianya setua benteng ini. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata Jepara, panjang benteng sisi timur adalah 33,50 meter, sisi barat 37 meter. Lebar sisi selatan 28,50 meter dan  sisi utara 20,30 meter. Dilengkapi ruang rehat yang dibangun di atas benteng ini, sebagai tempat pengunjung beristirahat, sambil melepas pandangan ke laut luas. Tiga buah meriam masih terpasang di bibir dinding benteng mengarah ke pulau Mandalika. Dinding benteng berbatu nan kokoh menyiratkan bahwa dunia arsitektur pada masa itu telah berkembang dan maju. Di sekeliling benteng ditumbuhi tanaman perdu dan tumbuhan keras seperti beringin, wali kukun, krinyo, ketapang, kesambi, laban, pule, waru, karet alam, serta jrakah lo,  menjadikan benteng ini terhalang oleh rimbunnya daun dan tempat ideal untuk mengintai dan menghalau musuh. Sementara di bagian bawah benteng telah dibangun jalan berpaving melingkar rata-rata selebar 1,5 meter. Jalan ini hampir sejajar dengan tepian pantai Laut Jawa, sehingga bila muncul ombak besar jalan ini ‘tercium’ oleh deburan air laut.


 


 


Dilihat dari sisi geografisnya, benteng ini sangat strategis untuk kepentingan militer zaman dulu yang kemampuan jarak tembakan meriam hanya 2-3 km saja. Sehingga praktis selat yang dibatasi Pulau Mandalika dan Semenanjung Jepara ini di bawah kendali meriam benteng, sehingga berpengaruh kepada jalur pelayaran di laut Jawa. Konon, kapal-kapal mesti lewat selat ini, karena di sebelah utara Pulau Mandalika adalah daerah berbahaya untuk pelayaran karena terdapat pusaran air yang sering menenggelamkan kapal-kapal yang nekat melaluinya.


 


Merunut sejarah, benteng ini dibangun setelah kejatuhan Jayakarta/ Sunda Kelapa ke tangan VOC, yang namanya diubah menjadi Batavia agar lebih Nederland Taste. Inilah sinyal awal tumbuhnya imperialisme di tanah bumi pertiwi. Sultan Agung Raja Mataram pun gusar, merasakan ancaman dari jatuhnya Jayakarta ke pelukan Belanda dengan kamuflase bendera VOC-nya. Sultan Agung pun menetapkan dan mengagungkan tekat, “Penjajah harus dilawan, kolonialisme jangan dibiarkan hidup, Belanda harus angkat kaki dari tanah Jawa!”


 


Perlawanan laskar Mataram pun dinyalakan berturut-turut di tahun 1628 dan 1629 dengan kekalahan di pihak Mataram. Kejadian ini membuat Sultan Agung harus menggubah strategi peperangan baru, bahwa Belanda hanya bisa dikalahkan melalui serangan darat dan laut secara bersamaan. Sementara kelemahan di pihak Mataram, tidak memiliki armada laut yang tangguh, sehingga diputuskan untuk meminta bantuan kepada pihak ketiga yang berseteru juga dengan Belanda, yaitu Portugis.  Perjanjian kerja sama antara Mataram dan Portugis pun disepakai dan untuk tahap awal Portugis menempatkan tentaranya di benteng yang dibangun oleh Kerajaan Mataram pada tahun 1632. Benteng ini sangat efektif untuk menjaga traffic pelayaran ke kota Jepara yang menjadi bandar utama Mataram  untuk jalur perdagangan. Realitanya kerjasama antara Kerajaan Mataram dan Portugis tidak pernah bisa terealisir untuk tujuan mengusir Belanda di Batavia. Bahkan di tahun 1642 orang-orang Portugis angkat kaki dari benteng ini karena Malaka sebagai kota utama Portugis di Asia Tenggara justru direbut oleh Belanda pada tahun 1641.


 


Seonggok bangunan bersejarah yang cukup dijadikan bukti bahwa segala bentuk penjajahan harus dilawan dengan usaha sekecil apapun. Meski akhirnya Mataram gagal dalam mengenyahkan Belanda dari tanah Jawa, namun tekat penolakan terhadap penjajahan dan nilai perjuangannya patut diteladani oleh para penerus bangsa.


 


Imperialisme harus dilawan!!!


 


Akhirnya kami pun mesti angkat kaki dari benteng yang telah berusia 378 tahun ini. Waktu yang beranjak siang semakin mempersempit waktu kami untuk meneruskan perjalanan ke Kota Jepara mengharuskan kami mengakhiri kunjungan di salah satu obyek peninggalan sejarah yang begitu menggelorakan semangat patriotisme dan cinta bumi pertiwi nan permai, Indonesia.


 


 


 


 


 


 


 



15 komentar:

  1. Nice Article....

    Salam kenal dari saya dan salam sukses...

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mas Ade.
    Salam kenal kembali....

    BalasHapus
  3. koreksi dikit, karena ada pemekaran wilayah, benteng portugis sekarang masuk dalam wilayah kecamatan donorojo...

    trims

    BalasHapus
  4. Makasih Mas Yudhi atas new info-nya. Semoga Sulang ngga ada pemekaran wilayah ya Mas. hehehe...

    BalasHapus
  5. suka jalan2 ya, ngomong2 asli mana nih? info nya menarik jg
    sukses ya

    BalasHapus
  6. kunjungan pertama untuk mencari budaya foto kuno tentang jepara/ atau bangunan bersejarah di jepara dari peninggalan jaman belanda at portugis yang punya keasliannya.
    ada yg punya gak ya....? menelusuri sejarah separa.

    BalasHapus
  7. @catur.
    Travelling, my new hobby. :)

    Asli Rembang Mas Catur, sebagai test case, coba menggali potensi alam yang tak jauh di rumah.

    Makasih sudah berkunjung.

    BalasHapus
  8. @ml-embun
    terima kasih atas kunjungannya.

    coba aja mas embun ke jepara, visit peninggalan benda bersejarah. mungkin minta assist ke dinas budaya dan pariwisata kab. jepara untuk lebih detail.

    kalo saya cuma wisatawan, belum kesampaian untuk menggali sejarah jepara lebih dalam.

    BalasHapus
  9. terakhir ke sono waktu ms imoed dulu, dah lupa2 ingat tapi dalam memory anak kecil aku ini tempat yg indah

    BalasHapus
  10. Matur nuwun mas artikelnya saya sebagai putra kalingga alias Cah keling asli merasa bahagia daerahku yang terpencil sudah di kenalkan ke media ini.matur nuwun..

    BalasHapus
  11. Membaca penuturan yang anda tulis, saya seperti merasakan ikut jalan-jalan.

    Ditempat lain masih banyak peninggalan bersejarah yang tidak terawat dengan baik. Sebagai anak bangsa saya berharap banyak pada pemda setempat untuk kelestarian cagar budaya ini. Nanti, sayapun ingin bercerita pada anak-anak saya soal Benteng Portugis di Jepara ini.

    BalasHapus
  12. Terima kasih atas kunjungannya Mas,

    Itulah jeleknya kita sebagai orang Indonesia. Hampir semua obyek wisata Nusantara dalam kondisi tak terawat, kotor, bahkan sudah hilang keasliannya karena ulah tangan-tangan jahil. Sangat disayangkan memang...

    Kita tak pandai merawat alam dan warisan-warisan bersejarah pendahulu kita...

    BalasHapus
  13. top markotop...aku sendiri sebenarnya jauh hari ingin lewat daerah ini, tp belum kesampaian..baru sampe cluwak aja...
    rute yg asyik..
    bravo mas didik salambanu..

    BalasHapus
  14. cedhak nggonku kuwi mas....

    BalasHapus