Selasa, 10 Februari 2009

PO Agung, When The Life is Going Down…

agungMenatap armada-armada lawas PO Agung yang masih “mampu” bersliweran di jalanan dengan kondisi asal jalan, body penuh karat, dijejali dempulan tanpa ada peremajaan mesin maupun karoseri, beradu beragam perasaan dalam lubuk hati, antara haru, bangga, dan kepiluan.  


Haru


Sebab  PO Agung lah yang berjasa besar mengenalkanku  arti  cinta kepada obyek “unique” yang dinamai bis.  


Masih jelas terbayang, awal mengenal bis, aku dibuat takjub terkesima melihat sosok PO dari Jepon, Blora. Sebagai anak kampung yang terletak di jalur Rembang-Blora, dan  jarang ke kota besar, bagiku kemunculan makhluk bernama PO Agung merupakan bintang baru. The Rokie of the year… 


Bila kebetulan sedang di pinggir jalan, dan setiap kali  PO Agung lewat, tanpa malu-malu aku dan teman-teman kecilku seketika bertepuk sorak, berjingkrak-jingkrak, melambaikan tangannya, serasa kedatangan artis idolanya kala itu, Si Unyil.  He he… norak banget ya?  


Anak-anak pun begitu menyukainya dan rela serta setia menunggu di depan rumah menunggu jadwal kapan PO Agung lewat. Selama ini hanya bisa membayangkan bagaimana sosok bis mutakhir yang pernah dilihat di televisi ataupun berkreasi membuat bis mainan dari kulit jeruk bali ataupun tanah padas, sekarang melihat sendiri sosok bis kinyis-kinyis di depan mata. Maklumlah cah ndeso, tersentuh sedikit arus modernisasi, langsung tergagap-gagap. Jangan anggap dunia jaman itu seperti sekarang, di mata orang-orang kampung, kala itu bis Agung dinobatkan angkutan umum paling ngetren, trendy dan bepergian dengannya dianggap wah dan bergengsi.  


Apalagi kala itu PO Agung tampil dengan armada baru, gres,  dengan corak livery yang benar-benar fresh dan berani beda kala itu. Meski hanya sketsa garis-garis, tetapi kombinasi warna dan permainan grafisnya sungguh-sungguh eyecatching. Ditambah suaranya yang menggelegar dan menderu oleh aksi si raja jalanan memburu waktu dan penumpang, bersaing sengit head to head dengan PO Semar Agung, PO Ria dan PO Patmo di jalur Cepu-Blora-Rembang-Semarang . Kala itu armada yang dipakai PO Agung adalah Hino AK 174 LA. Aku ingat karena kode seri mesin ini terpampang di badan samping, dengan model karoseri ala Anputraco Morodadi.  


Setidaknya setahun sekali aku dan keluarga bepergian dengan bis ini, meretas jalan hingga tujuan akhir, Kota Semarang bila hendak mengunjungi kakek di Jogja. Tak puas rasanya menikmati perjalanan hanya duduk manis, dijadikan kursi sebagai pijakan kaki sebagai tempat berdiri agar pandangan luas ke depan, melihat aksi pak sopir mengendara, dengan lihainya meliuk-liuk membelah keramaian jalan. Hmm…begitu asyik menikmati perjalanan, sampai-sampai terbersit obsesi untuk bercita-cita menjadi sopir bis.


 


Saking terobsesinya, terkadang angan-angan dan imajinasi hanya dituangkan dalam lukisan. Aku paling gemar melukis bis sewaktu duduk di bangku SD. Setiap ada pelajaran dan tugas menggambar asal temanya bebas, pasti obyek inilah yang kupilih untuk mengekspresikan kecintaanku terhadap bis.  Jangankan guru-guru sekolah , bapak dan ibu sendiri pun terheran-heran dengan hobiku melukis bis.  


Itulah awal aku mencintai bis. 


Bangga


Sebab PO Agung menjadi barometer dan trendsetter bisnis transportasi di pantura timur dan tenggara Jateng dalam rentang waktu tahun 80-an hingga awal tahun 90-an.  Andai boleh berandai-andai, PO Agung boleh disamakan  dengan PO Shantika, Jepara, sekarang ini. Meski hanya PO kampung, karena home base-ya ada di Jepon, kota kecamatan antara Blora-Cepu, tetapi cukup disegani oleh PO-PO yang notabene berasal dari kota. Sebagai pencitraan diri, puluhan armada Hino baru didatangkan dengan model karoseri yang selalu up to date, dan dalam bentuk pelayanan dibentuklah image kepada penumpang sebagai bis banter dan tidak suka ngetem. Bisa dibilang bis patas ekonomi. Kala itu setiap 30 menit sekali diberangkatkan PO Agung dari terminal Cepu tujuan Semarang, diseling PO Semar Agung, PO yang akhirnya diakuisisi oleh PO Agung karena tak kuasa bertahan di bawah bayang-bayang kebesaran PO Agung. Ownernya begitu total memenej bisnisnya.  


Meski hanya pendatang di jalur yang dirintis oleh PO Patmo, laksana seorang jagoan, dialah yang akhirnya menjadi penguasa jalur Cepu-Rembang-Semarang.  Jalur Cepu-Rembang pun menggeliat, yang akhirnya menginspirasi PO Artha Jaya membuka jalur Cepu-Jakarta di kelas bis malam. Dan lagi-lagi PO Agung pun tak mau kalah berlomba, menyusul membuka jalur Cepu-Jakarta via Purwodadi dengan armada Mercedes Benz jaman Mesin Mercy OH Prima. Tidak cukup hanya melayani jalur Cepu-Rembang-Semarang, gebrakan selanjutnya melebarkan jalur bumel ke Purwodadi-Solo dan Purwodadi-Semarang.  


Benar-benar fantastis kehadiran PO Agung, dalam waktu sekejap menjelma menjadi raksasa penguasa jalur Jateng tenggara. Dialah satu-satunya PO dari Blora yang pernah menunjukkan keperkasaan eksistensinya.  


Pilu


Pilu hati menyaksikan puing-puing sisa kebesaran PO Agung sekarang ini. Sangat disayangkan, mengapa sang owner cepat berpuas diri dan mulai terjerat oleh godaan dunia yang bernama judi. Kejayaan begitu melenakan, hidup diperbudak oleh uang, bujuk rayu dunia  susah ditepis dan akhirnya menggerogoti kekuatan bangunan kebesaran yang susah payah dibangun dari bawah. Selangkah demi selangkah  PO Agung terus mengalami kemunduran sampai saat ini.   


Hanya bis-bis yang tersisa di jalanan, yang melukiskan kondisi PO Agung yang carut marut, centang perenang dan digelayuti mendung kelabu sampai saat ini. Hidup segan matipun tak mau. Bangkai-bangkai bis yang berserak di pool, armada  yang sudah renta, minim perawatan tanpa pernah ada peremajaan, dengan perfoma asal tampil, dan badan penuh luka seolah mengguratkan kepahitan hidup PO Agung. Jangan bertanya soal pelayanan untuk penumpang, armada bisa berjalan dan mampu mengepulkan dapur kru bis sudah merupakan prestasi hebat.  


Dan aku pun rela dan berlapang dada meski di hati terasa perih, sang cinta pertamaku kepada bis ini disebut bis elek, panu-an dan tidak pandai bersolek. Bagiku ini juga sudah merupakan prestasi kecil, sebagai bukti bahwa Mas Agung masih punya aware soal estetika dan kecantikan armada dengan menyisihkan dana operasional buat membeli “bedak premium” untuk memoles wajah, meski aib badan PO Agung juga akan sulit dihilangkan dengan taburan dempul setebal apapun. 


 


Sejuta rasa beribu gejolak batin mengikuti jejak rekam perjalanan PO Agung.


 


 

4 komentar:

  1. bener mas PO Agung sekarang menyedihkan sekali bisnya, waktu di terminal purwodadi tgl 6/11/2009 melihatnya sungguh tak tega, sisi pinggir sepanjang atap catnya terkelupas dan karatan.

    padahal dulu begitu bangganya kalo naik bis ini....

    BalasHapus
  2. Cerita masa kecil, awal mula suka dengan 'bus', seperti yg ditulis mas didik, praktis membawaku bernostalgia 23 tahun lalu. Naik bus 'Flores' trayek Surabaya-Ponorogo bersama bapak ke Madiun....dan kebetulan nasibnya pun sama dg PO. Agung, runtuh kejayaan menyisakan puing-puing cerita sejarah....

    BalasHapus
  3. Perlu uluran tangan pemda Blora untuk membantu kembali membangun armada kebangaan Kabupaten Blora, itu bila Pemda ada rasa peduli. Tapi bila tidak, ya hanya tinggal menunggu waktu kepunahan saja.

    Saya yang di rantau, sungguh merasakan hal yang sama dengan penulis, sulit mencari kebanggaan sebagai putra asli Blora. Kekayaan alam yang melimpah (minyak dan kayu jati), rakyat blora hanya jadi penonton. Orang-orang pusatlah yang menikmati. Sewaktu kecil, kuhabiskan sebagian waktu hidupku di sawah dan hutan yang menempa aku sehingga bisa menjadi seperti sekarang.

    Dulu, semasa baru lulus kuliah, ingin sekali setelah sukses nanti aku kembali ke Blora. Tapi saat ini, rasa itu menjadi kandas setelah melihat Blora sebagai Kabupaten termiskin di Jawa Tengah diantara 35 kab/kota.

    Apa yang salah dengan Blora? lahan yang kering?, hutan yang gundul? Kalau semua pembesar Blora mau, pasti ada jalan untuk mencapai Blora yang makmur. Karena sumber daya ada. Bandingkan dengan Bojonegoro, Ngawi, Tuban, Rembang dan Grobogan.

    Sungguh, PO Agung menjadi gambaran kondisi Blora secara umum. Sangat menyedihkan, mengiris dan menyayat hati saya sebagai putra asli Blora.

    BalasHapus
  4. po agung ini tranportasi saya saat smu, yaitu rute wirosari purwodadi sekitar 1997-2000, saat itu masih layak dibanding sekarang ini

    BalasHapus