Senin, 09 Februari 2009

Eksotisme di Lereng Lawu

[gallery]



Berawal dari Sebuah Angan-Angan

Mengisi libur panjang Natal tahun ini, kuputuskan untuk menjelajah rute Magetan-Cemoro Sewu-Karanganyar yang konon menantang skill dan adrenalin para adventurer dengan jalurnya yang sempit, terjal, curam, dan penuh kelokan yang berbahaya di lereng Gunung Lawu. Sekaligus ingin mencicipi pesona wisata air Telaga Sarangan dan Air Terjun Tawangmangu.


Sebenarnya angan-angan ini sudah lama kupendam dalam hati. Apalagi setelah membaca testimoni dan kesan-kesan para pendahulu yang pernah mencumbui indahnya pesona lereng Lawu, membuat hati ini menggebu-gebu dan tidak bersabar lagi untuk membuktikannya.  Dan Dewi Fortuna memihakku, liburan di penghujung tahun 2008 adalah momen yang pas untuk mewujudkannya.


 


26 Desember 2008, Bendera Start pun Dikibarkan


Perjalanan bersama putri kecil dan permaisuriku kali ini kuawali dari rumah Eyang Putri di Kota Ngawi. Selesai menunaikan sholat Jumat, akhirnya perjalanan liburan kali ini kumulai. Menyusuri jalan Ngawi-Maospati-Magetan, tampak di kejauhan mata biru dan teduhnya Gunung Lawu seolah-olah melambaikan tangan untuk menyambut kedatangan kami. Kabut tebal seakan menjadi selimut sementara untuk menyembunyikan pesona alam di kaki gunung, agar kami semakin penasaran dan berdebar hati untuk menyibak apa yang terkandung di dalamnya.. Hawa semilir angin gunung pun tak luput menyapa kami dengan belaian lembut di ujung rambut dan menerpa dengan mesra permukaan kulit tubuh, yang jarang kami rasakan di gersangnya tempat alam kami tinggal.   Tampak kanan kiri  hijaunya daun padi dan kemuning bulirnya seperti dekorasi nan indah di hamparan permadani alam ciptaan-Nya. Hutan pinus dan cemara yang tinggi menjulang di perbukitan lereng Gunung Lawu memberi kesan merekalah para punggawa kerajaan Lawu yang siap menjaga perjalanan waktu gunung tertinggi keenam di Pulau Jawa ini. Jalan raya nan mulus berkelok-kelok seirama kontur alam pegunungan, terlihat belasan kendaraan roda dua maupun empat seolah merangkak kepayahan mendaki bukit untuk menaklukan ketinggian yang dipunyainya. Sungguh, pesona alam yang sayang untuk tidak dilirik.


 


Sarangan, I’m Coming…


Setelah satu jam lebih perjalanan, tampaklah papan nama besar besar bertuliskan “Telaga Sarangan”. Tepat pukul 14.15, tibalah kami di komplek wisata yang berjarak 17 km dari Kota Magetan. Setelah membayar tiket yang per orang dikenakan bea masuk sebesar Rp5.000,00, tampak sebuah telaga nan hijau dengan air yang melimpah ruah. Hmm…ini ternyata yang dimaksud Telaga Pasir Sarangan.


 


Situasi telaga cukup ramai oleh pengunjung yang menghabiskan liburan panjang di telaga yang terletak di tengah perbukitan Sidoramping. Area parkir tampak penuh sesak oleh jumlah besar kendaraan pengunjung. Ratusan keluarga dengan membawa banyak ‘pasukan’ dan perbekalan tampak bercengkerama, nongkrong, berlesehan dan bersendau gurau di tepian telaga menikmati pesona air telaga yang bersumber dari Air Terjun Tirtosari. Puluhan calo hotel/ losmen dengan agresif menawarkan kamar bagi pengunjung yang baru saja tiba yang membutuhkan tempat menginap. Tak kalah juga para  penyewa kuda dan speedboat menawarkan jasanya bagi pengunjung untuk berkeliling rawa dengan obyek jualannya. Para tukang foto amatiran namun tak kalah profesional dengan tukang foto media massa pun tak bosan-bosannya merayu pengunjung untuk mengabadikan momen indah berwisata di telaga yang berluas 30 ha dan berkedalaman 28 m ini.  Ratusan pedagang cinderamata, sayur-sayuran  dan buah-buahaan turut mengadu nasib, menjejali setiap lorong jalan menggelar lapak jualan, bertaruh siapa tahu liburan kali ini membawa berkah dengan memberi sedikit keuntungan kepada mereka. 


 


Segera kuparkir kendaraanku-ku, untuk turun menikmati riuhnya ombak telaga oleh sibakan lambung speedboat yang disewa pengunjung untuk menikmati melimpahnya air telaga, yang sebagian besar dimanfaatkan untuk irigasi areal sawah di sekitarnya. Tampak Pulau Putri di tengah telaga nan rimbun oleh vegetasi hutan, yang di dalamnnya terdapat punden sebagai tempat sesaji dalam acara larung tahunan yang diselenggarakan tiap Jumat Pon di Bulan Ruwah. Terlihat pula anak-anak dan orang tuanya dengan dipandu “pawang kuda” menunggang kendaraan hidup ini mengitari telaga, menjadikan liburan di telaga ini akan berkesan baginya. Sebuah dinamika kehidupan di sore nan cerah di lereng Lawu, di ketinggian 1.267 m dpal.


 


Segera terpikir olehku untuk mencicipi kuliner khas Sarangan, yaitu sate kelinci. Kebetulan di dekat tempat parkir ada tukang sate kelinci lesehan, karena memang banyak tukang sate kelinci bertebaran di pinggir telaga, baik yang berjualan keliling maupun menetap. Kupesan 2 porsi sate kelinci dan 1 porsi sate ayam dengan lontong sebagai pengganti nasinya (he he…maruk amat yak). Tidak perlu menunggu lama, menu sate kelinci pun terhidang. Setelah kucicipi…hmm, maknyuss tenan, begitu kata Pak Bondan. Dengan tekstur daging yang lembut, disiram bumbu kacang yang manis, dengan irisan bawang merah dan cabe kuning sebagai pelengkapnya, terasa khas citarasa yang ditawarkan oleh salah satu keanekaragaman menu masakan daerah Sarangan. Perlu enam lembar uang seribuan untuk menebus satu porsinya. Cukup murah bukan?


 


Karena berbahaya dan sangat riskan menembus tebalnya kabut sepanjang jalan tembus ke Tawangmangu di malam hari dan akupun belum menguasai medan, kuputuskan untuk bermalam di Sarangan. Banyak penginapan yang tersedia berikut dengan kelasnya. Berbekal referensi dari teman, kupilih hotel Telaga Mas. Meski musim liburan anak sekolah, masih banyak kamar yang tersedia. Dan kupesan kamar yang menghadap langsung ke arah telaga. Bertarif Rp350.000,00 semalam, dengan fasilitas double bed, TV, Shower, Bathup, view telaga, non-AC (dingin-dingin kok minta AC?), kuhabiskan malam bersama keluarga di tepian telaga yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini.


Malam hari di Sarangan kutemukan kehidupan nan damai, tentram dan nyaman. Riak-riak kecil air telaga, dinginnya tiupan angin gunung yang bersuhu di bawah 20 derajat Celcius, segar dan sejuknya semilir udara, nyala redup lampu malam di tepian telaga, tebalnya kabut putih bukit Sidoramping, suasana malam yang hening serta tenang, dan keramahan penduduk asli Sarangan sungguh-sungguh memberi makna bagi hidup ini. Betapa semua ini menjadi barang langka dan mahal untuk ditemukan di kehidupan perkotaan.  Kuhabiskan malamku dalam peraduan, dalam dinginnya hawa gunung yang berhembus di awal musim penghujan di lereng Lawu.


Esoknya, menikmati sunrise di Sarangan, semakin menambah kesan mendalam terhadap obyek wisata yang terletak di Kecamatan Plaosan, Magetan ini. Dari tempat parkir hotel, tampak di kejauhan mata kota Magetan yang tertata rapi yang bersiap menjalani hari bersama warganya. Puncak Gunung Lawu begitu jelas terlihat, karena tiadanya kabut penghalang. Jajaran perbukitan Sidoramping di sekeliling rawa seolah menjadi tebing raksasa bagi telaga ini agar air bisa tertahan dan bisa dikaryakan keberadaannya.


Mengisi pagi sebelum melanjutkan perjalanan, kuajak bidadari kecilku naik kuda yang dinamai oleh empunya “Hunter” untuk berkeliling telaga. Puas memang naik kuda sejauh 3,2 km dikawal oleh pawangnya, meski awalnya terasa tak nyaman. Mirip naik kendaraan tanpa shock absorber, keras sekali goncangannya. He he …


Dengan membayar Rp30.000,00 untuk sekali berkeliling, terasa tak sepadan dengan kepuasan dan sensasi menaiki si kuda gagah perkasa yang berbalutkan kulit coklat muda ini. 


Selesai berkuda, karena kasihan sama permaisuriku yang belum mencicipi fasilitas yang disediakan pengelola obyek wisata Sarangan, kuajak naik kapal cepat. Awalnya putri kecilku takut, tetapi setelah dibujuk-bujuk nanti dibelikan kaos bergambar kuda, akhirnya dia luluh juga. Wah…ternyata asyik juga naik kapal cepat dengan nama “Compaq” dan bermesin Yamaha S-25 ini sambil diombang-ambing ombak telaga yang ternyata cukup lumayan juga deburan ombaknya. Untuk fasilitas ini, kami mesti merelakan Rp40.000,00 untuk membayar jasanya.


Terasa kurang puas menikmati pagi tanpa mencicipi nasi pecel Madiun yang berjualan mangkal di depan hotel. Sip…betapa nikmatnya menikmati sarapan pagi di tepian telaga dengan lezatnya pecel Madiun yang kondang seantero bumi Jawa, dengan lauk bakwan jagung dan peyek kacang. Sudah enak, murah meriah lagi. Andai aku memiliki waktu panjang buat berlibur, pastilah akan kuurungkan perjalanan ke Tawangmangu hari ini. Masih banyak tawaran kuliner Sarangan yang belum sepenuhnya aku nikmati.


Sebelum beranjak pulang, tak lupa permaisuriku berbelanja cinderamata berupa kaos “Sarangan”, sayur-sayuran dan penganan khas daerah ini, seperti carang, brem, rengginan, keripik ubi rambat dan enting-enting kacang. Yah, itung-itung wisata alam sekaligus wisata belanja.


Tapi apa dikata, waktu terus bergulir. Tepat pukul 10 pagi, saatnya aku sekeluarga check out untuk meneruskan perjalanan.


Terima kasih Sarangan atas segala elok dan pesona keindahanmu, atas keramahtamahan pendudukmu, atas kesan yang engkau berikan, bahwa kita ini kecil, tak ada apa-apanya di muka jagad alam ini,  atas semua pelajaran yang engkau sampaikan, bahwa engkau sebagai alam adalah bagian dari kehidupan kami, engkau adalah ‘soulmate’ kami.


 


Cemoro Sewu, Serasa Begitu Dekat dengan Puncak Lawu


Selepas pintu keluar dari Telaga Sarangan, kami langsung berhadapan dengan tanjakan curam nan panjang hampir 45 derajat. Jalanan yang lebar hingga pintu masuk area Telaga Serangan, langsung menyempit, penuh kelokan tajam dan mesti ekstra hati-hati dengan efek blind spot. Tanjakan sepanjang 5 km membujur hingga daerah Cemoro Sewu. Dan menurut informasi dari tukang speedboat yang kami sewa, sedang dibangun jalur baru yang lebih landai dan lebar, hanya saja kemarin sewaktu kami melihatnya kondisinya masih dalam tahap pembangunan.


Pesona alam semakin indah di sepanjang jalan ini. Hutan pinus dan cemara, jurang-jurang terjal yang dalam, kabur putih nan tebal dan seolah hidup, jalan berkelok-kelok naik turun, dan puncak Gunung Lawu yang gagah menjulang adalah pemandangan abadi di jalur Sarangan-Cemoro Sewu.


Mesin 1.300 cc-ku pun meraung-raung, hanya bisa bermain di gigi persneling 1 dan 2 dengan jarum rpm mesin yang hampir menyentuh redline di tachometer. Dibutuhkan ketrampilan mengemudi yang memadai untuk menaklukannya. Jangan sedetikpun lengah apalagi sembrono membawa kendaraan. Beratnya medan membuat sebuah Mitsubishi Kuda dan dua unit angkudes terkapar di tanjakan karena overheat. Pantas saja, di papan peringatan sebelum masuk jalur ini terpampang jelas peringatan “Sehat Mobil, Sehat Pengemudi”. Ck ck ck… jangan coba-coba menundukkan jalur ini tanpa kedua syarat ini terpenuhi.


Kuberhentikan kendaraanku, melepas penat (baru sebentar kok penat!) sambil memandang salah satu sudut alam di Cemoro Sewu, yang masih masuk wilayah Kabupaten Magetan. Wuih..wuih…mantap benar dengan segar dan hawa dinginnya. Pantas saja banyak pasangan muda-mudi bercengkerama duduk-duduk di tebing jalan mencari kehangatan. Hmm…jadi mupeng deh!


Di ketinggian kurang lebih 1.600 m dpal ini serasa kita  melayang di angkasa di puncak ketinggian alam raya. Tampak kota Karanganyar dan Solo di sisi barat yang terlihat kecil di luasnya hamparan Pulau Jawa.  Di areal perbukitan terlihat ladang sayuran, mulai dari selada, kubis, kol, sawi dan wortel yang dibudidayakan oleh petani gunung, yang tampak menunggu waktu untuk dipanen. Antena Pemancar TVRI terlihat menjulang di antara hamparan bukit, sebagai penanda titik balik pendakian dari puncak menuju Cemorosewu. Menghadap ke atas sisi utara, puncak Lawu terasa so close so real, seolah tinggal beberapa langkah lagi untuk menggapainya. Padahal menurut para pendaki gunung, masih dibutuhkan waktu enam jam pendakian dari Cemorosewu. Batuan gunung hasil lelehan magma yang membeku begitu jelas menandakan bahwa gunung Lawu pernah aktif berpijar. Kabut pekat yang bergerak dan berlari naik turun nyata begitu dekat, seolah bermain-bermain di depan pandangan kita. Rombongan para pendaki gunung dan pecinta alam dengan backpacker yang sarat perbekalan tampak bernafsu untuk meraih puncak Lawu yang konon katanya waktu jaman baheula adalah kawah candra dimuka bagi jawara dan pendekar di Pulau Jawa untuk menggodok ilmu dan olah kanuragan.


 


Sebuah  lukisan alam nan eksotik tanpa campur tangan manusia, yang tak kalah indahnya dengan Telaga Sarangan.


 


Tawangmangu, Refreshing Sekaligus Uji Stamina


Perjalanan kulanjutkan ke Air Terjun Tawangmangu, yang berjarak 12 km dari Cemoro Sewu. Sebenarnya ini bukan kali pertama ke Tawangmangu, hanya saja kunjungan terakhir saat masih duduk di bangku SD seakan merupakan rentang waktu yang lama untuk tidak ‘membezuknya’ kembali.


Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp6.000,00 per kepala, kami langsung disambut puluhan ekor monyet yang hidup bebas dan terawat di komplek air terjun yang dipangku oleh Pemkab Karanganyar ini. Kawanan monyet tampak asyik bermain-main di tengah pengunjung dan sesekali mencoba merebut bekal makanan yang dibawanya. Tak ketinggalan, para pengunjung ‘berbagi kasih’ dengannya dengan memberikan makanan yang dipunyainya, mencoba menjadi sahabat sesaat bagi monyet-monyet liar ini. Sebuah sinergi indah antara manusia, alam dan margasatwa.


Area air terjun alami ini terletak kurang lebih 300 m dari pintu masuk. Itupun mesti menuruni tebing terjal yang telah dibuatkan jalan berundak oleh pengelolanya. Berkali-kali si kecilku terpaksa aku gendong, karena memang rute ke tempat air terjun ini kurang cocok buat anak kecil. Terlalu curam. (Hmm…air terjun saja belum sampai, sudah terpikir kuat tidak naiknya nanti. Sudah susah membawa badan sendiri, harus ditambah beban memanggul anakku. He…he…Demi anak kok  perhitungan).


Setelah menuruni jalan berbatu, sampailah di lokasi air terjun. Butir-butir tetesan air jatuh menderu dari derasnya aliran air di ketinggian 81 m, membuih di dasar sungai di antara bebatuan solid sebesar badan gajah di tengah rimbunnya pohon-pohon besar seperti beringin, bendo dan cemara yang berumur ratusan tahun, memberi warna dan corak tersendiri bagi obyek wisata yang terletak di lereng barat Gunung Lawu. Banyak pengunjung bermain-main di bawah air terjun, berbasah-basah ria menikmati segar dan dinginnya air pegunungan. Inilah daya tarik dan nilai jual obyek wisata yang kerap disebut Grojogan Sewu ini.


Kubiarkan putri kecilku bermain-main air, berbasah-basah ria, kecek di sungai yang bersumber dari air terjun ini. Begitu enjoy-nya dia, menikmati dunia kecil yang indah dan penuh keceriaan.


Kesempatan ini aku gunakan untuk rehat, menghimpun tenaga menjaga stamina untuk mendaki pulang sembari menikmati elok alam bumi Tawangmangu. Sayup-sayup terdengar klonengan gamelan uyon-uyon khas Surakarta mengalun dari perkampungan di sekitar obyek wisata Tawangmangu. Kuhirup dalam-dalam hawa segar gunung, agar paru-paruku kuat mengikat senyawa oksigen sebagai bekal tenaga untuk pulang.


Tak terasa perut lapar mendera. Segera kupesan sate kelinci (lagi-lagi sate kelinci…), untuk menganjal perut sekaligus sumber tenaga karena perjalanan berat sudah di depan mata. Makan siang di tengah alam, sungguh memberi satu kenikmatan sendiri.


Berhubung awan tebal telah menggantung, kuputuskan untuk segera pulang. Dengan sisa-sisa tenaga, aku harus menaklukan jalur pendakian yang terjal sambil memanggul putri kecilku. Memang mesti stop go agar bisa sampai pintu keluar. Tak apalah, alon-alon waton kelakon, begitu prinsipku. Tiap mendapat 20 m, mesti berhenti ambil nafas, lanjut berjalan kembali, ambil nafas mengatur ritme lagi, setapak demi setapak naik…dan akhirnya, sampai juga di pelataran parkir tempat mobil kami berada. Benar-benar menguras tenaga dan menguji ketangguhan stamina. Hugh…sungguh-sungguh melelahkan.


 


Pukul satu siang, di titik Tawangmangu akhirnya perjalanan Magetan-Cemoro Sewu-Tawangmangu ini kuakhiri. Untuk segera melanjutkan perjalanan pulang ke kotaku tercinta, Rembang.


 


Tutur Penutup


Begitu banyak hikmah dan pembelajaran yang kupetik dari perjalanan Magetan-Cemoro Sewu-Tawangmangu ini. Tentang rasa syukur kepada Pencipta Alam Semesta, tentang arti penting keberadaan alam bagi eksistensi kehidupan manusia, tentang arti cinta lingkungan, dan bagaimana kita memperlakukan alam dengan selayaknya.  Alam tercipta bukan untuk dieksploitasi tanpa batas, namun jadikanlah dia sahabat, karena alam akan menawarkan manfaat yang tak terhingga selama kita bijak dan santun mengakrabinya.


 


 


 


 


 

1 komentar: