Senin, 09 Februari 2009

Dangdut Koplo, Dicinta sekaligus Dibenci

lusiana_safaraDangdut Koplo; Do You Love It?


 



Ndek biyen wis tak tukok-e, wujud tali sak kutang-e
Saiki-ne lha kok ilang, sak slira-ne…
Lungo menyang endi, tanpo pamit ra ngabari
Opo lali, kowe karo aku iki…

 


Itulah sepenggal bait terdepan lagu “Tragedi Tali Kutang” ciptaan Cak Diqin yang dibawakan dengan penuh penghayatan oleh si “Melas Face” Cak Shodiq  feat Neng Vivi Rosalita yang terlihat kenes dan menggoda, yang pertama kali aku dengar dan lihat dari piranti audio visual yang dibenamkan di dalam kabin Bis Nusantara, sewaktu perjalanan pulang mudik mingguan, 3 tahun silam.


 


Sungguh…awalnya aku  senyum-senyum sendiri. Menyimak syairnya  yang nakal namun mengundang tawa, biduanitanya pun (maaf meminjam istilah bis) economic class yang berkostum seronok, dengan aksi goyang nan heboh di bawah hingar bingar alunan musik yang bagiku ‘agak asing’ di indra pendengaran meski masih kental  ‘dangdut taste’nya. Menurut analisis dangkal cipta, rasa dan karsaku kala itu, yang membedakan dengan ‘pure dangdut’, adanya sentuhan improvisasi berupa tepukan kendang, ketipung dan alat musik additional yaitu drum, dengan ‘aksen’ yang begitu dominan dan menghentak-hentak dengan ritme harmonik yang cepat, nge-beat,  terkadang diseling lengking melodi petikan senar sang gitaris.  Kalau aku compare, style tepukan kendangnya mirip kita kothekan menggunakan tool berupa bangku meja sekolah jaman masih berseragam putih merah.  Genre musik yang aneh? Kolaborasi dangdut-rock-jaipong dan house music-kah? Gumamku kala itu.  


 


Tapi herannya, setiap kali dientertain oleh bis-bis malam Cepu-Jakarta, tatkala selintas lalu di muka warung  VCD pojok prapatan “Texas City”, ketika orang nanggap hiburan pas punya gawe maupun saat ada acara pentas pertunjukkan musik di daerah Sulang dan sekitarnya,  seolah dangdut dengan genre baru ini, yang akhirnya disebut dangdut koplo, menjadi musik wajib yang diperdengarkan. (Mengapa awalnya dulu dinamai koplo ya? Padahal nama koplo berkonotasi negatif, yaitu zat adiktif yang terlarang, pil koplo).


 


Sang fenomenal…demikian fakta aktualnya. Tidak muda tidak tua, yang kecil maupun yang dewasa, bergender pria atau wanita, bergelar priyayi atawa jelata, semua kesengsem dengan kehadiran musik dangdut yang konon kelahirannya dibidani oleh para ‘maestro’ musik dari ranah Jawa Timur.  Meski hard listening, namun ritmenya terasa dinamis, riang serta rancak sehingga memacu adrenalin untuk mengiringnya dengan berjoged berjingkrak-jingkrak. Asyik…assoy geboy…fly… Ditambah nilai plus kejelitaan dan kemolekan wajah ayu para biduanita, dengan goyang dahsyatnya sebagai bumbu penyedap mata sewaktu beraksi di panggung, menjadikan setumpuk alasan mengapa musik ini laku, acceptable, touching heart dan memabukkan para maniak-nya .  


 


Bisa jadi inilah trik dan terobosan ‘mengejutkan’ dari para musikus dangdut untuk menyiasati tren dunia musik yang menghendaki adanya pembaharuan yang kontinyu. Di kala musik dangdut jenuh dengan corak pakemnya, dengan indikasi mandegnya launching lagu-lagu dangdut terbaru dan  lambatnya regenerasi artis dangdut di kancah musik Indonesia, revolusi yang dibawa dangdut koplo pun terbilang ‘menyihir’.  Meski sebagian besar lagu-lagu yang di’koplo’kan adalah jiplakan dan mengekor dari lagu penyanyi/ grup band lain yang dimodifikasi genrenya, nyatanya aliran musik ini cepat memperoleh kepopuleran dan nancep di hati pendengarnya, meski hanya terbatas di kawasan Jawa Timur dan Pantura Timur Jawa Tengah.


 


 


Imbasnya, banyak artis dan orkes melayu (OM) yang ikut terangkat derajat kehidupannya, melejit bersama ke-fenomenal-an dangdut koplo itu sendiri. Sejauh ini yang kondang kita kenal adalah OM New Pallapa dari Sidoarjo, OM Sera dari Gresik, OM Monata dari Pasuruan, dan OM Rass dari Bumi Kartini, Jepara. Bintang pentas dan diva panggung ‘dadakan’ pun bermunculan, nama-nama seperti Brodin, Agung, Shodiq, Dwi Ratna, Lilin Herlina, Vivi Rosalita, Ratna Antika, Gayuh Rakasiwi, Tya Agustin, Evi Puspitasari, Lusiana Safara, Anjar Agustin, Nena Fernanda, dan Denis Arista, yang siap bergoyang menuntaskan animo masyarakat yang haus akan hiburan musik dangdut. Aku yakin, pasti banyak yang tak kenal dengan ‘makhluk permusikan’ di atas  sebelum ‘turunnya’ sang fenomenal ini. Dan konon kabarnya Inul Daratista dan Dewi Persik yang sukses melanglang buana menembus papan atas artis ibukota adalah jebolan sekolah ASDK (Akademi Seni Dangdut Koplo).


 


Lagu-lagu yang diaransemen ulang pun bukan tebang pilih. Pelbagai tembang bisa di versi koplo-kan. Mulai lagu jaman dulu hingga lagu terbaru, tembangnya Tetty Kadi hingga Shanty, Kalau Bulan Bisa Ngomong hingga Kucing Garong, lirik gubahan Rhoma Irama hingga Katon Bagaskara,   Favourites Band hingga Kangen Band, bahkan Campursari hingga Pop Melodi. Bukan itu saja, lagu-lagu western oldiesh, pop maupun rock dengan segala variannya tak sulit untuk di’pleset’kan. Bukti cetho welo welo bahwa dangdut koplo kaya akan improvisasi aransemen dengan  beragam sentuhan permainan rythim serta melodi, terlebih ‘gebukan’ kendang dkk, menciptakan warna musik yang khas, riang ceria, segar dan membumi. Lagu yang dinyanyikan baik secara solo maupun duet, saduran maupun orisinal dangdut koplo semacam Kere Munggah mBale, Slenco, SMS, Tragedi Tali Kutang, Kucing Garong, Misscall, Turu Nang Dadane, Karmila, Bibir Louhan, Manten-Mantenan, Sahara, Kandungan, Sir Gobang Gosir, Mlebes, Banyu Kali, Syahdu, Ketahuan, Puspa, Heaven, Leyeh-leyeh, Bokong Semok, Bunga Desa (Raib), Jambu Alas dll tak asing menyapa gendang telinga. Andai ada top ten hit list tembang populer di daerah, pastilah dijejali oleh lagu-lagu koplo.


 


Kalau aku boleh berintermezzo, dengan berpura-pura menjadi pengamat musik sekelas Bens Leo, merasai dan menikmati  berbagai macam lagu yang pernah kudengarkan, didapat satu konklusi  penggolongan  tipe warna dangdut koplo yaitu “Hardcore Koplo” dan “Shocking Koplo”. Ciri “Hardcore Koplo” adalah  pukulan kendang yang bertubi-tubi yang dilakukan sejak intro lagu dimulai. Jadi orang bakal ngeh kalau sejak awal itu adalah lagu dangdut koplo, semisal pada lagu Welcome to My Paradise-nya Nena Fernanda dan Banyu Kali yang dinyanyikan Evi Puspitasari . Lain halnya dengan “Shocking Koplo”, yang dinamai demikian karena mengejutkan.  Orang tidak paham kalau tembang yang dibawakan tersebut sejatinya dangdut koplo, karena ketika start lagu tersebut dibawakan sama mirip dengan lagu asli, semisal lagu duetnya Shodiq dan Dwi Ratna membawakan lagu berjudul Syahdu dan Sahara yang dibawakan oleh Brodin.  Pertama-tama lagu dibawakan plek dengan versi aslinya, tapi setelah reffrain, irama lagu berubah drastis, ritme dan tempo lagu pun meningkat setelah pukulan kendang yang menghentak-hentak sampai akhir lagu. (Maaf, bagi yang belum pernah mendengar lagu tersebut di atas, silahkan hubungi lapak VCD terdekat. J )


Sudah ah, hidup kok berandai-andai…Back to Laptop.


 


 


 


Well


Setengah dekade belakangan ini, musik yang ‘kuncup tunas’nya adalah hiburan antar kampung ini telah memasuki wilayah industri bisnis. Kocek puluhan juta yang mesti siap-siap digelontorkan para pembooking yang berniat mementaskan dangdut koplo, yang melibatkan penyanyi, grup band dan penata panggung. Semakin punya reputasi dan nama besar, semakin mahal tarif per manggungnya. Suatu berkah ekonomi dan finansial bagi penyanyi, pemain musik, kru panggung, manager, penata lampu, penyedia sound system dan pemasok deklit serta panggung .  Seolah tak mau kalah berebut kue rejeki demi mengeruk keuntungan, studio rekaman maupun tukang video amatiran memanfaatkan momen manggung mereka dengan mengabadikan gambar live setiap aksi di atas panggung untuk selanjutnya dicetakgandakan dalam bentuk keping VCD, yang sebagian besar tanpa ijin dan permit Deperindag, untuk didistribusikan ke setiap pelosok daerah, menyusur segmen masyarakat yang addict to dangdut koplo.


 


Kesuksesan, ketenaran, booming dan demam dangdut koplo tak lepas dari peredaran VCD-VCD yang dijual di pasar ‘gelap’. Begitu mudah mencari album “masterpiece”  dangdut koplo karya grup orkes melayu yang available di lapak-lapak pinggir jalan dengan harga tidak lebih dari enam lembar uang seribuan per kepingnya. Cukup murah bukan? Ratusan  judul lagu, dengan beragam nama penyanyi bertumpuk-tumpuk dalam VCD (obyek yang di-Indonesiakan menjadi perekam cakram optik) siap menyambut dan menawarkan pilihan bagi para pembeli, pengkoleksi dan penyuka musik kontemporer ini.  Bagi seorang netter pun tak akan sulit. Banyak situs maupun blog-blog pribadi yang memberikan fasilitas free download lagu-lagu dangdut koplo yang pernah beredar di pasaran. Hanya tinggal langkah klik untuk mengunduhnya.   


 


Dangdut Koplo; Sebuah Kontroversi Yang (seolah) Tak Berujung


Dilihat dari sisi hukum, penjiplakan, pembajakan dan plagiatisme kreatifitas bermusik untuk kepentingan komersiil dalam bentuk peredaran VCD bajakan adalah original sin dan melanggar undang-undang hak cipta dan kekayaan intelektual yang mesti dituntaskan di meja pengadilan. Kalau dihitung, berapa rupiah royalti album  artis penyanyi yang ditelikung, berapa kerugian materiil para pencipta lagu yang buah karyanya dengan seenaknya dicatut, berapa milyar income negara dari cukai dan pajak label album yang tak  terbayarkan? Sungguh, kerugian nilai uang yang sangat besar bagi negara, yang menurut hitungan kasarku, jauh lebih besar dari pendapatan daerah Rembang selama 5 tahun terakhir. (Ngasal : mode on)


 


Belum lagi kerugian immateriil berupa matinya ide dan kreatifitas insan musik dalam berkarya, lumpuhnya semangat mencipta dan bermusik para musikus, menyemai persaingan bisnis tidak sehat dan saling klaim antar pihak terhadap produk seni  seseorang, ketidakjelasan status hukum sebuah karya seni, suramnya masa depan kehidupan orang-orang yang bergelut  di dunia musik serta penurunan tingkat kepercayaan dari bangsa lain kepada negara  karena lemah dalam law enforcement.


Meski tidak dapat dirasakan, dampak kerugian immateriil jauh lebih besar dari nilai kerugian materiilnya.


 


Dari hal kecil yang luput dari perhatian pemerintah, in case kasus peredaran VCD bajakan, berkembang menjadi penyakit kronis yang menggerogoti kebebasan berkreasi dan hak mencipta bagi setiap warga negara.


 


Di lain pihak, banyak kalangan, orang-orang sepuh, pemuka agama, pemerhati masalah sosial, psikolog dan tokoh masyarakat berkeberatan dan menolak keberadaan dangdut koplo. Bukan musiknya yang digugat, tetap aksi panggungnya. Bukan maksud mengeneralisasi,  melihat secara live ataupun melalu media gambar hidup,  tayangan dangdut koplo secara kasat mata mendatangkan kemirisan dan keprihatinan. Aksi penyanyi di panggung dengan ‘gagah berani’ mengumbar mode busana yang minim bahan, menonjolkan lekuk-lekuk indah tubuh,  mengeksploitasi sensualitas kaum hawa, aksi goyang pinggul dan (maaf) pantat yang terkesan erotis, merayu–rayu nafsu birahi dan terkesan vulgar tanpa memperhatikan aspek kesopanan dan sisi audien yang berasal dari semua lapisan umur, berlawanan dengan semangat implementasi undang-undang anti pornoaksi dan pornografi serta  keributan dan crash yang kerap terjadi antar penonton sehingga menciptakan kerawanan sosial dan pergeseran budaya.


 


Tipisnya jurang pemisah mana seni dan mana pornoaksi, membuat kita bersilang pendapat, perang opini, beradu argumen tentang batasannya, yang tak berkesudahan, tanpa titik temu dan terus berlarut-larut. Sementara dinamika budaya dan sosial masyarakat setiap detik terus bergerak mengikuti perkembangan dunia global. Dengan berkedok karya seni, sebagian dari kita bersikap permissive terhadap banjirnya budaya negatif  yang tak bersih tersaring oleh norma-norma yang selama ini menjadi pegangan. Semua ditelan mentah-mentah tanpa memikirkan impact buruk bagi tumbuh kembangnya generasi muda, penanaman nilai-nilai akhlak luhur dan pembentukan karakter bangsa. Pandangan sebagai bangsa timur yang religius, santun dan beradab semakin tercabut dari akar adat istiadatnya.


 


Siapakah yang patut disalahkan? Insan permusikan, penyanyi panggung, penyuka musik, masyarakat yang menonton, produsen-pengedar-pembeli VCD ataukah pemerintah beserta aparaturnya? Jawabannya bisa beragam dan kompleks, karena tak mudah untuk menunjuk hidung dan seperti benang kusut, bingung dari titik mana untuk memulai mengurainya.


 


 


Kelahiran genre  baru bermusik yang diusung dangdut koplo, hasil olah daya imajinasi dan kreatifitas nan tinggi, penuh ide-ide segar, dan berani tampil beda melawan patron dangdut murni yang sedang redup sinarnya, bertolak belakang dengan  image negatif tentang aksi pornoaksi dan pembajakan karya seni, membuat dangdut koplo (boleh) dicinta sekaligus (layak) dibenci.


 


Ah…buat apa larut berbicara hukum dan masalah moral di negeri ini.  Dangdut koplo terlanjur berbaur dan melebur dalam kehidupan masyarakat dengan segala kontroversinya. Masing-masing pribadi punya kedewasaan, kearifan dan kebijakan untuk merespon setiap pengaruh kemunculan budaya baru, untuk memilah  mengambil nilai positif dan membuang poin negatifnya.


 


Aku hanyalah seorang penikmat musik, sejauh irama dan lirik yang aku dengar enak di kuping, menyentuh relung jiwa bermusikku dan terlebih membuat hati terhibur, I will love it…I dn’t care what’s  on its behind…


 


 


Salam Koploholic


 


 

15 komentar:

  1. Terima kasih atas komen-nya Mas Riyadhun.

    Penyuka dangdut koplo juga ya?

    Salam Koploholic...

    BalasHapus
  2. koplo emang toppppp abis.... my favourite singer is... Mr. BRODIN, low profile n tak neko2 penampilannya serta suaranya yg khas.... hmmmmm....

    BalasHapus
  3. Dangdut koplo memang jadi tren d msyrakat. Saya sndiri jga sering mlht d tv lokal Jwa tmur stiap ming6u. Mnrut sya. Pngaruh ngatif mmg ada. Tng6al bgaimana kita menyikapinya. . . Ok!

    BalasHapus
  4. Benar Mas Arya, kembali pada kebijakan pribadi masing-masing...

    Matur nuwun atas komentarnya. :)

    BalasHapus
  5. meskipun gue MD radio yang Gak ada dangdutnya tapi saya suka dangdut koplo,terlebih pas dapet job ngemce di hajatan.. pasti nyanyi lagu dangdut..hehehehehehehehehe....

    BalasHapus
  6. firdaus (BELATUNG)1 Mei 2010 pukul 04.46

    terserah kta orang menilay akan dangdut koplo. yang pentig slam damai dri (JANCOK) JARINGAN ANAK NAKAL CINTA ORKEZ KOPLO,senantiasa berkibar.........

    BalasHapus
  7. Emang Dangdut Koplo Bsa Bkin Nyntai2 Tuch....
    Vivi Rosalia Vs Shodiq Top Abiizzz....!!

    BalasHapus
  8. Saya demen kalau duet Vivi Rosalita feat Shodiq menyanyikan lagu-lagu campursari.
    Klop antara warna suaranya, cengkoknya dan aksi mesra panggungnya.

    Trims atas visitnya...

    BalasHapus
  9. dangdut koplo dipadukan dengan perjalanan bersama bis muria raya merupakan kenikmatan yang ga ada bandingannya mas didik

    BalasHapus
  10. That's right Brother...

    Di saat jenuh melihat pemandangan luar dari dalam bus, dangdut koplo adalah penghiburnya. :)

    Jangan salah, pukulan kendangnya bisa memacu hormon balap si driver. hehehe...

    BalasHapus
  11. sayangnya aku tidak suka yang berbau koplo..he..he..
    tapi cak diqin sangat kreatif..lagunya enak2..
    yg bagus spt wulan andung-andung..
    kalo aku juga suka lagu banyuwangi..mantab

    BalasHapus
  12. Bagus baget artikelnya ...mnta ijin share yaaa. Oya aq suka bgt dangdut n prihatin kalo aksi panggung keterlaluan . Negara kita lagi terlena dengan dewa demokrasi , sulit mengatur isi negara.

    BalasHapus
  13. Sip Bagus artikelnya ...mnta ijin share yaaa. Oya aq suka bgt dangdut n prihatin kalo aksi panggung keterlaluan . Negara kita lagi terlena dengan dewa demokrasi , sulit mengatur isi negara.

    BalasHapus
  14. Dangdut Koplo is my music favorite..
    Untuk Mbak Lilin Herlina.. Siipp Joosss

    BalasHapus