Jumat, 27 Februari 2009

Langgam Sarkawi

Langgam Sarkawi



Aura senja mulai menyergap langit sore Pulogadung


Bersiap melengserkan siang, mendudukkan malam di singgasana waktu


 


Dan dari keremangan cahaya


Muncul sosok yang tak asing bagi petualang kota


Menyeruak di antara rakyat republik aspal


Yang menyemut di ujung jalan Perintis Kemerdekaan


 


Makhluk jalan raya berbalur warna ungu la viola


Tubuhnya molek nian, menyembunyikan sisi maskulin


Smiling facenya perlambang sikap legowo menjalani tugas


Lelah menempuh  ribuan kilo bukanlah keluh kesah


Jalanan berlubang dan penuh debu sebentuk pertemanan sejati


 


Kian lama  dia semakin mendekat


Segera kulambaikan tangan


Terunggah bahasa sandi, agar dia memahamiku


Samar di balik kaca pria paruh baya menatap


Teettt…teettt…dia membalas pengharapanku


Lalu  menepi dan berhenti


 


Dan seorang penjaga gerbang tanggap kendali


Dilongoknya kepala keluar jendela


Siapa tahu ini jalan datangnya rejeki


Dia pun bertanya, “Kemana Mas?”


Ngetan (ke timur)”, jawabku singkat.


 


Bergegas dibuka pintu utama dengan semangat bergelora


Secepat kilat kutapakki alas permadani kerajaan armada


“Mari Mas, masih banyak yang kosong”


Sapaan lembut dara ayu dengan ramah menyambutku


 


Hmm…aroma  kegirangan terpancar dari rona wajah mereka


 


Kulangkahkan kaki mencari lapak punggung yang tersisa


Sembari diikuti tatapan tajam dan nanar belasan penduduk resmi


Bahasa tubuh jauh dari sikap pemuliaan


Tak acuh akan hadirnya pengemis rasa iba


Senyum menjadi barang mahal bagi warga baru


Yang ada guratan kecurigaan di benak mereka


Setiap gerikku tak luput dari perhatian


Seolah aku ini seorang pesakitan


Salahkah aku?


Apakah aku ini seorang pendosa?


 


Kusandarkan letihku di tampuk ala kadarnya


Di pojok belakang, menempel pada dinding ruang


 


“Kemana Mas?”, tiba-tiba gadis tadi menghampiri


“Rembang Mbak, berapa?”


“Delapan Mas…”


“Tujuh ya Mbak!”, tawarku sambil kukerlingkan mata


Berharap dia mengerti dan mengasihaniku


Kepalanya mengangguk, meluluskan permintaan


 


Tanpa kugenggam tiket, tanpa ada jaminan perlindungan


Hanya berasas rasa percaya dan saling membutuhkan


Secuil transaksi “haram” di pasar gelap


 


Dan di tampuk ini pula aku  tercenung


Sungguh…sekian lama menjalani ritual hidup di atas roda


Hampir menjelang sewindu mengarungi samudra pantura


Inilah awal pertamaku mempertaruhkan diri


Menyandang status penumpang tak resmi


 


Namun, apa yang aku rengkuh?


Dua sisi pandang yang saling bertolak belakang mengemuka


Ibarat kutub utara dan selatan magnet yang diadu


 


Aku diharap, sekaligus ditolak


Aku dibutuhkan, sekaligus dikucilkan


Aku dicitrakan sejumput pendapatan, sekaligus disimbolkan syak wasangka


Aku membawa keberkahan, sekaligus mendatangkan kebencian


Aku disanjung laksana emas berlian, namun mereka menahbisku seonggok sampah


 


Aku penyambung nafas bagi kru


Yang bergaji kecil, tak sepadan dengan tanggung jawab nan besar


 


Aku penyesak nafas bagi penumpang berduit


Yang berharap pelayanan istimewa, bak seorang maha diraja


 


Aku tak menyalahkan yang berbaju legal


Nilaiku tak lebih dari benalu transportasi, aku terima apa adanya


 


Andai mereka mau mengerti


Wira wiri kampung-ibukota setiap minggu


Hanya untuk sesuap nasi, menggugurkan kewajiban


Dan tidak setiap perjalanan lembar rupiah menyokongku


 


Namun, siapa yang berani menghalangi arti pertemuan?


Siapa yang dapat mencairkan gumpalan kerinduan?


Bersua orang-orang tercinta, pengisi kebahagiaan relung jiwa


 


Deminya…


Kenyamanan perjalanan terpaksa kukorbankan


Kantong sempit tak lagi kurasa mencekik


Suaka keselamatan menjadi piranti mahal


Anggapan miring keberadaanku tak membuat panas telinga


  


Harga diri tak malu kurendahkan


Harkat martabat kukerdilkan


Melangkah ke dalam lembah hitam yang berjuluk “Sarkawi”


 


tsu


 


Sepenggal kisah pengalaman pertama menjadi seorang sarkawi.


Latar : Perjalanan Pulogadung-Rembang (20/2) bersama PO Tri Sumber Urip Nopol K 1548 AD, Hino R260, New Travego Morodadi Prima.

3 komentar:

  1. saya pertama sarkawian naik bis budi jaya mas

    BalasHapus
  2. Mas Didik...sing dimaksud sarkawi iku opo leh..? cekakan utawa istilah tren wae / aku kok lagi krungu..? soaLE nek Sarkawi iku sak ngertiku koncoku sopir sing saiki sukses dodolan sari laut nek alun2 Juwana.
    btw...mas didik asli rembang to..? aku sumberjo mas..arek pasar..salam kenal

    BalasHapus
  3. Hehe...Sarkawi itu bahasa halusnya "penumpang gelap/ tak resmi" yang naik bus Mas. Jadi tanpa tiket, kolusi sama kru atau agen. Yang jelas, tarif Sarkawi lebih murah dibanding resmi.

    Jadi, bukan menyinggung teman Mas Sangalang yang bernama Sarkawi, lho?

    Salam kenal kembali. Saya numpang lahir di Kragan, besar di Sulang dan sekarang domisili di Bulu...:)

    BalasHapus