Sabtu, 07 Februari 2009

Lontong Tuyuhan, Kuliner di Kaki Bukit Bugel

Lokasi Menentukan Reputasi


Rembang, yang masyhur dikenal  Bumi Dampo Awang, pun tak luput dari daerah yang kaya akan khasanah kuliner Nusantara. Dan salah satu masakan yang kondang seantero ranah pantura timur adalah Lontong Tuyuhan.


 


Pusat wisata kuliner Lontong Tuyuhan sendiri terletak di pinggir jalan kabupaten yang mengubungkan Kota Kecamatan Lasem dan Kota Kecamatan Sulang via Japerejo, tepat berada di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang.  Meski lokasi ini bukan di pinggir jalan raya pantura, namun tidak menghalangi niat para penggiat kuliner untuk singgah ke tempat wisata kuliner identitas Kota Rembang, yang berjarak 3 km dari jalur utama penghubung dua ibukota propinsi, yakni Surabaya dan Semarang.


 


Ada dua alasan mengapa Lontong Tuyuhan ‘menyihir’ insan perkulineran, yakni kolaborasi paket wisata kuliner sekaligus wisata alam. Letak Desa Tuyuhan yang berada di kaki bukit Bugel, di tengah hamparan tanaman padi nan subur dan ladang-ladang tebu yang diusahakan masyarakat, dinaungi pegunungan Lasem dengan puncak Argo di ketinggian 800 m dpal, diterpa udara semilir sejuk segar khas hawa angin gunung, sangatlah membantu menurunkan tensi denyut pikiran, melepas penat dari rutinitas kehidupan. Serasa kita menikmati wisata kuliner di tengah alam pedesaan nan permai, sehingga semakin menggelorakan nafsu makan dan hadirnya sebuah kebahagiaan di tengah acara makan bersama keluarga ataupun teman.


100_4475


 


Membedah keistimewaan lontong tuyuhan



lontong-tuyuhan2



 


Sebenarnya, lontong tuyuhan tidaklah jauh berbeda dengan opor ayam. Kekuatannya berada pada kuah santan yang lebih kental, gurih dan pedas hasil olah tumis cabai merah dan jahe, dengan sedikit tambahan kecap manis, serta perpaduan rasa rempah-rempah kemiri, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kemiri, ketumbar, kencur, pala, dan kunyit.


 


Bila kita jajan menu ini, biasanya penjual menawarkan pilihan potongan ayam. Menurut Pak Katemin,-pemilik kedai di Pusat Jajan Lontong Tuyuhan-, langganan kami sekeluarga, seekor ayam dipotong menjadi 12 bagian, yaitu kepala (endas), leher (rongkong), dada (mentok), dua paha bawah (sempol), dua paha atas (gending), dua sayap kanan kiri (suwiwi), punggung (geger), ekor (brutu),  dan ati ampela (jeroan). Sengaja dipilih ayam kampung muda, istilah Jawanya kemanggang, agar didapat tekstur daging ayam nan  empuk, tidak terlampau keras, tidak terlalu lunak.


 


Ada satu kekhasan lagi dari menu yang resepnya ini diwariskan secara turun temurun dari para leluhur Desa Tuyuhan, yaitu bentuk lontongnya, yang dibungkus daun pisang dan berwujud prisma segitiga. Cara membuatnya pun tidak asal-asalan, ada resep khusus, sehingga lontong terasa empuk dan lembut di mulut. Salah satu rahasia dapurnya adalah diimbuhkan dengan sedikit daun pandan, agar aromanya bertemu dengan rasa nasi, sehingga semakin melengkapi kelezatan lontong tuyuhan.


 


Dan konon, citarasa lontong tuyuhan tidak lepas dari kepercayaan para penjualnya. Mereka meyakini lontong hanya akan terasa enak jika dimasak dengan air Desa Tuyuhan. Hal yang berbau klenik ini seolah menjadi pembenaran bahwa memang lontong tuyuhan tidak bisa disamakan dengan opor ayam dari daerah manapun.


 


Jangan dibayangkan menu ini dihidangkan oleh restoran/ warung makan kelas atas. Yang ada di Tuyuhan, hanyalah los-los sederhana berukuran 3m X 4m, dengan tempat duduk berupa bangku panjang, meja kayu beralas kain plastik dengan ornamen bunga dan bangunan semi terbuka, sehingga nuansa alam Tuyuhan bisa kita jelajahi. Dan penjualnya pun menggunakan angkringan yang terbuat dari bambu atau rotan, yang cara membawanya dengan dipikul, sebagai tempat meracik lontong dan opor ayam. Sebuah pencitraan sajian menu tempo doeloe, khas pedesaan pesisir pantai utara Jawa.


 


Sebelum digantikan teh botol atau es kelapa muda, dulu dihidangkangkan air kendi secara gratis sebagai minuman teman bersantap lontong tuyuhan. Tentu saja isi kendi adalah air yang berasal dari sumber pegunungan Lasem, yang segar dan higienis, tanpa terkontaminasi zat-zat polutan. Sayang, sekarang pembeli lebih menyukai modernitas dan gengsi, apa spesialnya jauh-jauh ke Tuyuhan hanya untuk minum air putih? Tidak aneh bila akhirnya peran kendi hampir tersingkirkan.  


 


Sejarah lontong tuyuhan


Menurut cerita Pak Katemin pula, sejarah lontong tuyuhan tidak bisa dipisahkan oleh sosok Sunan Bonang. Sunan Bonang, yang bernama asli Raden Makdum Ibrahim, kala itu sedang bergiat menyebarkan agama Islam di daerah Rembang. Namun karena satu hal, terpaksa berhadapan dengan Blancak Ngilo, yang terus menerus memusuhi beliau. Dengan jalan diplomasi tidak mempan, akhirnya ditempuh jalan yang sedikit represif, dalam koridor menegakkan syariah dan ajaran Islam. Di mana pun Blancak Ngilo berada, terus diburu oleh Sunan Bonang. Syahdan, sampai suatu ketika Blancak Ngilo sedang makan opor ayam dengan lontong  di tengah sawah, dipergoki oleh Sunan Bonang. Blancak Ngilo pun ambil langkah seribu, terbirit-birit ketakutan, sehingga tanpa disadari (maaf) terkencing-kencing di celana. Melihat adegan ini dan untuk mengenang daerah ini selanjutnya, Sunan Bonang mengeluarkan ‘fatwa’, kelak bila jaman telah ramai, daerah ini akan bernama Tuyuhan, yang artinya tempat Blancak Ngilo lari ketakutan hingga terkencing-kencing.  Dan cerita legenda turun temurun ini terpatri di hati masyarakat sekitar, dan sampai sekarang kekal menjadi Desa Tuyuhan.


 


Dulu, penjual lontong tuyuhan tidak menetap di satu tempat, melainkan berkeliling dengan pikulan, menawarkan dagangan dari kampung ke kampung, melewati hutan jati, sawah dan kebun hingga ke Kota Lasem. Mereka keluar selepas waktu duhur dan kembali menjelang tengah malam. Sebelum dikenal lontong tuyuhan, lebih dulu disebut lontong balap, karena jika waktunya berangkat kerja, para penjual lontong beriringan seolah-olah seperti balapan. Orang-orang biasa menyantap di pinggir jalan, di bawah pohon jati, di tepi sawah dan pasar sambil duduk di dingklik. Jikalau malam tiba, digunakanlan lampu teplok (sentir) yang dibalut pelepah pisang agar tidak padam tertiup angin.


 


Ke-kini-an lontong tuyuhan


tuyuhan2


 


Seiring dengan bertambahnya pelanggan, penyuka lontong tuyuhan, atas prakarsa Pemerintah Kabupaten Rembang, dibangunlah Pusat Jajan Lontong Tuyuhan, agar pedagang dan pembeli bisa bertemu dalam satu tempat permanen, yang rapi dan tertata, dilengkapi lahan parkir yang luas, ditambahkan fasilitas musholla dan toilet agar pengunjung merasa nyaman jajan lontong tuyuhan.   


 


Sekarang, Pusat Jajan Lontong Tuyuhan selalu ramai tiap hari. Ada puluhan pedagang, yang semuanya laki-laki, berjualan berjejeran di kedai-kedai kecil yang disediakan. Rata-rata para penjual di sini menggelar dagangan sejak pukul 12.00 hingga 20.00, dengan sistem bergantian antar penjual, ada yang membuka lapak siang hari dan ada yang menjelang sore. Tidak ada aroma persaingan bisnis antar penjual lontong tuyuhan meski mereka berjualan bareng dengan menu yang sama. Justru yang terlihat kompetisi sehat untuk menyempurnakan menu makanannya, menjaring sebanyak-banyak pelanggan, mengunci pilihan hati pembeli dengan sedap dan maknyus-nya menu masakannya. Semua yakin akan jatah rejeki masing-masing, tinggal bagaimana para penjual lontong tuyuhan memaintain daya tarik jualannya.  


 


Who knows, Semarang identik kota lumpia, kelak Rembang tersohor dengan sebutan  kota lontong.


 


 


 


 


 

5 komentar:

  1. kulo tiyang yogya asring menyang rembang, wenten desa wates, griyanipun bp. maknun kepala badan kepegawaian. nyuwun pirso pasipun lontong tuyuhan alamat lengkap dateng pundi nggiiih.
    nderek koment, ampun nggih kota rembang kanthi sebatan kota lontong/ kota tolong.

    BalasHapus
  2. wah...sekarang lain mas..yg lebih rame malah lontong tuyuhan yg jual gadis2 cantik dan seksi...gak ada lagi penjual laki2..

    BalasHapus
  3. hehehe...modernitas lontong tuyuhan kali, mas?

    Sepanjang yang saya tahu, sentra kuliner di tuyuhan, penjualnya masih didominasi Bapak-bapak.

    Mungkin lain lagi yang berjualan di luar tempat ini. Bisa jadi, mengandalkan sensualitas penjualnya dalam menarik pembeli. :)

    BalasHapus
  4. saya asli ngepos bedog pamotan kini tinggal di boyolali, kalo pas ke pamotan selalu sempatin menikmati lontong tuyuhan. nikmat abis. mantab

    BalasHapus
  5. tahun 97-98 saya pernah KKN di Rembang, Kecamatan Sale, Desa Gading?? (yang ada sumber airnya (lupa eii)).. kalau sabtu minggu iseng nongkrong di lontong tuyuhan ini .. bersama sirup kawista, mereka berdua lekat sebagai produk khas rembang... satu lagi tempe yang di jual di pasar desa Gading, sangat khas.. kedelainya kecil kecil dan gurih manisnya terasa banget kalau digoreng dan dimakan anget anget ....

    BalasHapus