Senin, 11 Februari 2013

Budi Yang Tak Beranjak Gede (2)

Sesuai prosedur, semestinya kru cepat-cepat melakuan penggantian ban, toh biang keladi penyebab ketidakberesan semua ini telah dipindai.


Namun tak ada tanda-tanda ‘quick respon’ itu. Malah awak kabin ngobrol di samping bus, entah apa yang sedang dirundingkan. Tak ada gerak cepat untuk menurunkan  ‘si cadangan’ atau mengeluarkan tools ganti ban yang tersimpan rapi di dalam bagasi.


Para pengisi singgasana merek Hai mulai hilang kesabaran. Mereka berduyun-duyun semburat keluar lantaran tiada  progress berarti.


“Ada apa sih, Pak, kok lama?” tanya seorang di antaranya.


“Eh…maaf  Pak, anu…ban belakang sobek.” ujar driver dengan setengah gelagapan.


“Bukannya tinggal ganti?”


“Hmm…itu Pak, ban serepnya juga sobek”


Blaik…bus hendak menempuh jarak ratusan kilometer tanpa perlengkapan ban yang memadai?


“Terus didiamkan begini saja?” balas yang lain dengan nada sewot, lantaran kesal mengapa ‘jabatan’ cadangan tidak dianggap urgen.


Maklumlah, masyarakat Pakujembara (Pati-Kudus-Jepara-Rembang-Blora) sangat-sangat intoleran dan anti permissive dengan sebutan ‘mogok’ di jalan.


“Sebentar ya Pak, itu keneknya lagi nyari ban.” jelasnya berusaha menenangkan, seraya telunjuknya mengerucut pada ‘si pembantu’ yang tengah sibuk keluar masuk bengkel rumahan.


Beberapa menit kemudian…


“Susah, mana ada yang jualan ban tubeless bekas.” lapor kenek setelah usahanya hunting ‘donat hitam’ itu tak memberikan hasil positif.


“Pak…Ibu…kami minta maaf. Saya mohon bersabar. Sekarang lagi diusahakan dikirim bus pengganti dari Pulogadung.” jelas sopir dua, yang dari keriput wajahnya menandakan beliau cukup senior, setelah berembuk dengan kru yang lain.


Tak ada yang bisa kami perbuat selain menunggu…menunggu…dan menunggu.


Sedikit kemujuran melingkupi. Adanya jajaran warung makan peramu ‘nasi karawang’ yang khas itu, jadi obat P3K alias Pertolongan Pertama Pada Kelaparan.


Dan yang ndilalah lucu, salah satu kedai itu bernama persis dengan bus yang menyinggahi. Jangan-jangan, orang awam yang lewat menyangka pemilik rumah makan ternyata punya unit angkutan massal? Hehe…


IMG00249-20120427-2153

Kuracik sepiring nasi dipadu tumis kacang dan ikan bakar sebagai pengganjal darurat kantong lambung. Hitungan-hitunganku, setidaknya jam 12 malam nanti baru disediakan service makan malam.


Sekali lagi, kusaksikan dua penumpang yang dilanda kasmaran itu bermasyuk ria memamerkan keintiman di depanku, sembari menghabiskan menu telah yang dipesan.


Hi…bikin mupeng! 


22.35 


“Pak…Ibu…itu bisnya datang. Disiapkan semua ya, jangan ada yang ketinggalan.” perintah Pak Sopir saat lampu sorot smiley mendekat, menghapus kebosanan yang membekap raga ketiga puluh sembilan manusia.


Datanglah armada pengganti, yang tentu saja tak asing bagiku. XBC-1518/59 Euro 3.


Ah, tak sempat lama menikmati masa kedewasaan ‘Budi gede’, kini dia ‘mengecil’ kembali.


Baby mercy…baby mercy…bus yang job desk sejatinya dikhususkan bagi kepentingan inner city, namun ‘diselewengkan’ orang Indonesia sebagai pekerja rodi untuk menggawangi trayek jarak jauh.


Penumpang telah bersiap, dengan posisi kursi tiap penghuni yang tak berubah. Tampang-tampang lumayan sumringah tampak menghiasi raut muka. Permasalahan selesai, tinggal berharap agenda perburuan waktu untuk menggantikan masa yang telah terbuang benar-benar diwujudkan kedua juru mudi ‘anyar’.


Ah…mengapa tak berangkat-berangkat juga?


“Aduh... kenapa ban serep armada ‘suksesor’ ini diturunkan? Kentir…jalan tanpa ban cadangan lagi?” pikiranku bertanya-tanya, melihat kenek selesai ngolong di bawah overhang depan dan kemudian menggelindingkannya untuk diserahkan kepada ‘bus malang’.


Sungguh-sungguh spekulasi yang beresiko tinggi. “Semoga tak ada lagi aral di jalan, segalanya akan baik-baik saja…” dengan pasrah sepasrah-pasrahnya, doa kupanjatkan pada Yang Kuasa.


22.47 


“Ayo Pir, ndang dikleak, ra usah nganggo rem!” aba-aba ala komporan dari bangku  tengah menggaung ke segenap penjuru kabin. (Ayo, Pir, cepat ‘dikleak’, tak usah pakai rem)


(NB : Aku kurang tahu apa padanan kata dari kata ‘kleak’ apabila di-Indonesiakan. Kalau di Rembang, ‘kleak’ adalah istilah di bidang pertanian, yang artinya dicangkul/ dibajak yang dalam (CMIIW). Entah daerah Pati Lor,sepertinya punya makna sendiri tentang ‘kleak’ ini. Mas Aneez, Mas Umam, Mas Aam atau Mas Wisnu bisa membantu menjelaskan.)


Moda darat berpelat nomor K 1405 H memulai debutnya. Dan gampang ditebak,  kinerja ‘roket pendorong’ yang cuma disangga empat batang torak kurang cocok dengan karakter dan ekspektasi pengguna jasanya.


Tak bisa dibantah memang, saat jalan lengang, setelah putaran atas ‘dapat’, bus berdaya maksimal 177 PS/2200 rpm ini mampu deras melesat. Namun, menghadapi situasi lalu-lintas yang agak rapat, pramudi harus pandai-pandai me-menej gear ratio, yang berimbas pada rajinnya aktivitas shift-up/shift-down tongkat persneling.


Di sisa penghabisan jalan tol yang dikelola Jasa Marga, terbukti bahwa mesin yang diklaim ramah lingkungan ini keteteran. PO Wisata berpaspor DIY, Langen Mulyo, raja Priangan timur, PO Budiman Banjarsari-Depok serta Prima Jasa Lebak Bulus-Tasik membungkamnya dari lomba pacuan “who is the fastest?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar