Kamis, 07 Februari 2013

Almost Unreal (4)

Almost Unreal (4)


When Pahala Kencana Trapped into Alas Bonggan, Todanan


Ada empat rambu petunjuk bagi kami yang bisa jadi patokan untuk memindai Tempat Kejadian Perkara, yakni  jejak roda, dahan-dahan yang dipangkas, pohon yang ditebang, maupun tanah yang dikepras.


Sayang, tanda-tanda itu satupun tak berhasil ditemui, bahkan kami sendiri juga semakin bingung jalan. Bayang-bayang dedemit Kedung Bacin akan iseng mengerjai, menghantui. Semoga kalau ada apa-apa, kami masih bisa mendengar kokok ayam jantan. Hehe…


Kami sudah masuk jauh ke pelosok hutan, tripmeter mengakumulasi jarak 15 km dari titik Desa Jaken, tapi mana lokasi dimaksud?


Dihinggapi rasa putus asa, kuhentikan kendaran di tempat yang agak teduh di pinggir jalan. Kami semua turun membumi, berharap ada sosok warga yang melintas, sebagai sandaran bertanya.


Di dekatnya terdapat satu pelang nama yang dipancang oleh Perum Perhutani, sebagai ‘isyarat buatan’ bahwa kami sebenarnya sudah di seputaran lokasi musibah mistis tersebut.


 Sumber-20120707-01260


 Todanan-20120707-01263


Selain itu, sampah-sampah yang berserakan di atas tanah memandakan bahwa belum  lama terjadi keramaian massa di daerah ini.


Tapi di mana?


Mata menyapu ke penjuru arah, dan seketika kami ingat akan foto yang menampilkan gambar dua truk varian Hino FL 260 tengah jadi pesakitan. Inilah background tempatnya.


Sumber-20120707-01259


Truk_Semen_Blora


 Ngreng…ngreng….ngrengg…


Suara knalpot terdengar memekakkan telinga. Seorang bapak tua dengan tunggangan motor pretelan tanpa pelat nomor, mendekat. Kami pun menyetop beliau untuk bertanya.


“Pak, nyuwun sewu. Niki leres alas Bonggan?” sekali lagi Mas Ponirin dengan gelar XBC itu menempatkan diri sebagai jubir kami. (Pak, permisi. Benar ini hutan Todanan?)


“Inggih Mas. Lha badhe teng pundi?” (Iya, Ma. Memang mau kemana?)


“Lokasi bis kalih truk ingkang ingkang ndek wingi kesasar, Pak,”(Lokasi bis dan truk yang kemarin tersesat, Pak)


“Wah, sampeyan bablasen Mas. Balik ngalor malih, kinten-kinten satunggal kilo.” demikian instruksinya. (Wah, anda kebablasan Mas. Kembali ke utara lagi, kira-kira satu kilo.)


“Ketingale, teng berita, kok gambar truk-e wonten mriki, Pak?” (Sepertinya, di berita, kok gambar truknya ada di sini, Pak?


“Niki lokasi wekdal truk muter endas-e Mas. Soale pas mogok teng tanjakan, mboten saged mundur utawi muter. Mangkane, dipun pekso mlampah dugi mriki, pados dalan ingkang saged kagem puter balik.” (Ini lokasi waktu truk putar kepala, Mas. Soalnya, pas mogok di tanjakan, truknya tidak bisa mundur atau memutar. Makanya, dipaksa jalan sampai sini, cari tempat buat putar balik)


Wealah…kami berjalan terlalu jauh?


“Leres, alas mriki angker nggih, Pak?” kucoba mengorek keterangan darinya, yang dari penampilan nan sederhana dan bersahaja, pastilah penduduk daerah sini.  (Benar, kalau hutan ini angker, Pak?)


Beliau pun bercerita panjang lebar, bahwa pernah beberapa kali terjadi peristiwa mobil, sepeda motor dan truk tersesat, masuk ‘terowongan gaib’ Alas Bonggan. Termasuk di antaranya grup kesenian Kethoprak yang pernah manggung di tengah hutan, karena mereka merasa telah tiba di tempat orang yang punya hajat.


Konon katanya, Alas Todanan adalah kota gaib, yang pernah jadi jujukan raja-raja di Pulau Jawa tempo doeloe untuk bersemadi serta meditasi, demi memperoleh tambahan kekuatan mistik untuk melanggengkan tampuk kekuasaan yang dipegang.


Pun saat zaman Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Menurut tutur para sesepuh, saat Raden Mas Sahid (nama asli Sunan Kalijaga) berontak dan akhirnya terbuang dari kehidupan keluarganya yang kontradiktif dengan kondisi rakyat jelata, dan Beliau memilih mengabdikan diri sebagai ‘berandal’ yang merampok harta orang kaya nan kikir untuk dibagikan kepada kaum miskin, Alas Kendeng Utara adalah tempat persembunyian sekaligus base camp untuk menghindari kejaran musuh-musuhnya. Konon katanya pula, ribuan penghuni kawasan hutan ini melindungi keamanan dan keselamatan Berandal Lokajaya -- julukan Sunan Kalijaga sewaktu muda -- kala itu.


“Nanging sakniki masyarakat malah salah kaprah. Alas niki didadoske panggonan kagem golek pesugihan. Ngregeti sucine alas Bonggan mriki!” curhat Bapak itu dengan ekspresi ketidaksetujuan dengan perilaku sebagian masyarakat yang menyimpang. (Tapi sekarang masyarakat malah salah kaprah. Hutan ini dijadikan tempat mencari kekayaan. Mengotori kesucian alas Bonggan sini)


Tiba-tiba Agus van Yulianto lari tergopoh-gopoh dan langsung masuk kembali ke dalam mobil.


“Ahh…aku nyerah, Mas. Kekuatan penunggu sini luar biasa. Banyak benar makhluk halus yang berkumpul di sekitar kita!” keluhnya mengerang sambil memegangi perutnya yang mulai mual.


Kami seketika terperanjat. Apalagi Sera juga mengamini hal yang sama, sehingga semakin mengikis keberanian jiwa kami. Couple turing Bayu itu ternyata memiliki kepekaan mata batin yang tajam untuk menembus dunia lain, dan baru saja menggambarkan apa saja yang baru dilihatnya.


“Oh iya, Mas. Jalan kecil di depan kita itulah jalan menuju lokasi mencari pesugihan. Di sana ada punden kecil, tempat orang-orang menjalani ritual bersekongkol dengan iblis, demi mendapatkan harta secara instan,” sambung Bapak itu semakin menggentarkan nyali kami.


Sumber-20120707-01259


 “Misalkan nanti sampeyan melihat ada pakaian tergantung di batang pohon, ya jangan kaget!” wanti-wantinya.


“Lho, memang kenapa, Pak?” tanyaku setengah kaget.


“Itu adalah bajunya orang yang akan dijadikan tumbal pesugihan.”


Blaik…gawat. No…no…Tanpa buang waktu, kami pun bersegera pamit, undur diri kepada Bapak tua tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar