Senin, 11 Februari 2013

S (c) A N (i a) J A Y A (1)

Hari Ke- 29, Bulan Ke-9


“Mau kemana, Mas?” sambut seorang calo resmi berseragam PO Haryanto tergopoh-gopoh menghampiri, saat melihatku melangkah tergesa-gesa seturunnya dari taksi roda dua.


“Kudus? Jepara? Pati?” berbekal ilmu yang dipelajari dari bangku terminal, ia menjajal kapasitasnya sebagai marketing handal.


“Kelet? Bangsri? Atau Tayu?” lanjutnya seakan tanpa menyela nafas, biarpun aku meresponnya dengan sikap acuh tak acuh.


Hebat! Apakah perantara tiket itu bisa menebak bahwa bentuk serta lekuk wajahku khas ras Murianesia, sehingga aku digiring untuk duduk di dalam armada yang pantas disemati titel Appetite for Acceleration itu?


“Mobilnya baru, Mas. Dapat snack dan makan. Kalau iya, saya diskon, cukup 110 saja!” bombardirnya, berharap aku terkulai ke dalam jerat iming-imingnya.


Aku yang sedari tadi hanya sambil lalu, akhirnya tak tahan buka suara.


Busnya Pak Gi’ apa Pak Topo?” aku balik bertanya.


“Lho...kenal, Mas?”


“Mosok hampir tiap Minggu naik Haryanto, ngga tahu mereka?” balasku meredam keagresifannya.


“Pak Gi’, Mas.” ujarnya tersipu.


Jujur saja, tak ada gairah untuk bermalam di kamar VVIP The Titans, meski “nilai jual” Pak Sugiarto tetaplah lestari memikat. Silent Striker, demikianlah kalau aku boleh menjulukinya. Sosok tenang, kalem, low profile, namun diam-diam, galak dan merajalela di atas main court Pantura saat mengemban tugas sebagai goalgetter bagi skuad HR-07 yang dibelanya.


Pasalnya, andai Kamis malam itu aku turut beliau, -- menghitung siklus dua harian -- pas mengarah ke barat Hari Minggu nanti, kemungkinan besar akan bersua kembali dengan B 7032 VGA. Ngga ah, semesta pinggir laut Jawa begitu luas, terasa sempit kalau aku mengarunginya dengan modul penjelajah yang sama. Kutepis nama PO Haryanto sebagai nominator figuran fragmen wira-wiriku kali ini..


“Tujuan saya ke Rembang, Mas. Ini mau ke Nusantara.” tolakku mengelabuinya, walaupun aku sendiri masih menggantungkan nasib soal HS berapa yang menggawangi NS-19. Kalau misal berjodoh dengan scania usang namun terbungkus busana baru model Jetbus, bolehlah.


Bukan jajaran lapak agen yang kutuju, melainkan area ngetem yang membujur dari  lajur satu hingga tiga. Adakah selebritis baru pesisir timur yang bispak alias bisa dipakai?


Di lintasan satu, dari belakang berbaris Shantika Scania, Shantika Masterbus, kemudian di depannya hadir Muji Jaya MD-99. Di row kedua adalah bus yang aku emohi, Blue Titans, yang bumper guard-nya nyaris menyium pantat Irizar palsu, HS 151.


Dan di tengah arena, hadir Super Eksekutif 01 serta ah,...percuma! NS-19 didelegasikan kepada HS 218, New Marcopolo MB OH 1526 bersuspensi udara. Kudiskualifikasi saja, apa bedanya dengan NS-39 Pulogadung-Cepu yang lebih mudaan lagi, HS 222? Kurang nyeni ah...


Kini opsi meruncing antara tiga varian chasis, OH 1525-nya Mas David Muji Jaya, OH 1526 ataukah K124 IB, keduanya punya PO Shantika?


“Sudah ah, ngapain bingung? Cepet sono gih bungkus Scania. Ngga malu apa sama status penglajo mingguan, tapi ngga pernah mengelus-elus singa melet yang dipiara Shantika?” setan ting ting yang bersemayam di nadiku angkat bicara, seraya memantik korek api lalu menyalakan sumbu kompor.


Gimana ya? Iya...engga...engga...iya...Sebentar...sebentar!


Hmm, apa balik ke pelukan bidak Pak Hans saja? Toh, tak bisa dibantah oleh hati kecilku, jalan lurusku ya tetaplah NS-19 Rawamangun-Lasem. Lebih simpel, murah, praktis, direct flight tanpa transit. Andai kuamalkan, pasti bisa! Ini bukan weekend, penumpang lazimnya sepi, kursi-kursi meradang menunggu penyewa.


Aku masih termangu di ruang tunggu.


Satu menit...dua menit...hingga lima menit kemudian, laboratorium analisisku masih bergolak hebat, menentukan mana yang lebih mendatangkan manfaat untuk kupertaruhkan.


Bingung...bingung...kumemikirnya!


“Hei, cepet!!! Nunggu apalagi? Ini hampir setengah tujuh, sebentar lagi pada berangkat! Lagian kamu juga belum salat!!!” bentaknya dengan lantang, mengagetkan kegamanganku. 


“Eh...iya...iya deh, gitu aja pake cara militer, kaya rezim Orba aja!” aku gelagapan dibuatnya.


“Tapi…, hei, turunan iblis macam apa pula kau ini! Kok ngasih nasehat kepada manusia untuk tak melalaikan Tuhan-nya! Lupa jobdesk  ya?” batinku tergelak tawa.


What “the kindly devils” say, that’s my way. Karena kebodohanku, premis itulah yang terkadang kujadikan acuan di kala bimbang menghadapi kompleksitas ragam pilihan pra-turing.  


“Oke...oke...Ana sami’na wa atha’ sama ente deh, Gan!” tundukku taklid kepada si penggoda iman itu.


Kuayunkan kaki menuju salah satu counter tiket di deretan tengah dari bus port yang relatif steril dari penjaja asongan itu.


“Ke Kudus masih ada, Bu?” tanyaku kepada ibu berkerudung lebar menjuntai, seolah merefleksikan bahwa PO yang diageninya ber-platform agamis.


“Saya kasih Scania saja ya, Mas, ini banyak yang kosong,” bimbingnya, sambil menyodorkan sket tempat duduk. Lho, dia kok tahu mauku ya?


Saat kutelisik, memang benar adanya. Hanya baris 1 s.d 4 yang dibold, selebihnya cuma segelintir contrengan di deret belakang.


“Hmm...belakang toilet saja, Bu.” request-ku, supaya pandangan meluas ke depan, disamping adanya alasan klasik, dua bangku kembar dempet (nomor 19-20) tersebut belum laku. Siapa tahu nanti sebelahku melompong, buy one get one free, asaku.


“Seratus lima puluh, Mas,” bilangnya saat menyiapkan secarik tiket sebagai bukti sah transaksi.


“Ngga boleh kurang tuh, Bu?” negoku. “Sepi nih...”


“Ya sudah Mas, 140 saja, ngga bisa kurang lagi.” Aku mengangguk, dan tercapailah kemufakatan.


 “Busnya paling belakang ya, Mas! Sleret (cat) biru, di kaca depan ada angka 09.” terangnya.


Gen kenakalanku memberontak. “Ngga usah ditunjukin detail gitu ah, Bu. Seawam-awamnya busmania seperti saya ini juga ngga bakalan susah mencari. Pak Lurah Pulogadung bisa huekkk...sorrr...lagi, kalau tahu warganya yang seringkali mangkir diundang cangkrukan di warung Pakde Poniman ini, ngga bisa bedain mana Scania mana  Mercy.  (Hehe...Piss ya Cin!) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar