Kamis, 07 Februari 2013

Almost Unreal (5)

Almost Unreal (5)

When Pahala Kencana Trapped into Alas Bonggan, Todanan


Kami bersegera balik arah, beringsut mencari TKP dan berketetapan hati untuk mampir barang sebentar saja. Rasanya tak bijak berlama-lama kluyuran di rimba Kedung Bacin. Merujuk kata Agus, auranya sangat-sangat negatif.


“Ya Allah, ini tho tempatnya?” lirihku, setelah melihat lokasi dengan ciri-ciri yang disebutkan Bapak tadi.


Mengapa tadi pas lewat sini kami tak sampai melihat scene ini? Jangan-jangan tadi dijangkiti halusinasi pikiran, sehingga tak menyadari adanya daerah ini.


Todanan-20120707-01280

Todanan-20120707-01272

Kami bergegas turun, mengeksplorasi ‘tempat demit Bonggan bersemayam’. Kontur jalannya berupa busur atau cekungan yang dalam, dengan kemiringan tanjakan-turunan yang mengapitnya lumayan ekstrim. Perkiraanku di atas 35 derajat.


Tidaklah jadi bahan pertanyaan, mengapa kedua truk semen curah akhirnya terkapar, tidak kuat menanjak. Biarpun ber-horse power besar, tanpa ancang-ancang dalam menaklukan tanjakan, dalam perhitunganku pastilah akan ketenggak atau kehabisan nafas.


Dengan sedikit kejelian mata kami, barulah terlihat jelas ‘prasasti’ serta ‘artefak’ yang ditinggalkan ketiga raja jalanan yang lagi apes. Tebing kecil yang dikepras, tapak-tapak roda yang masih ‘hangat’ menempel di tanah, jejak hitam rem kendaraan, semak belukar yang dibabat, ceceran oli, sampah-sampah makanan serta penemuan satu keping vcd yang sepertinya milik salah satu dari armada-armada tersebut.


Todanan-20120707-01270

Todanan-20120707-01283

Sumber-20120707-01275

Sumber-20120707-01276

Todanan-20120707-01271

Todanan-20120707-01278“Podho ngopo iki, Mas?” tiba-tiba seseorang yang tidak kami sadari kehadirannya, mendekat. (Lagi ngapain ini?)


“Eh….ningali panggenan bis kesasar, Mas?” jawabku dengan sedikit gagap. (Melihat tempat bis tersesat, Mas)


“Sampeyan wartawan?” telisiknya dengan ketus dan agak curiga.


“Sanes, Mas!”


Dialog antar aku dan dia terasa canggung. Seolah orang yang dari garis wajahnya merefleksikan usianya sedikit di atasku itu tidak senang dengan keberadaan kami di sini.


“Kemarin bis dan truk ketahuannya di sini ya, Mas?” tanyaku untuk memecah kekakuan.


Dia menarik nafas panjang, dan sejurus kemudian memberikan jawaban…


Iyo. Tanah yang dikepras itu tempat kedua truk semen mogok. Kata sopirnya bukan mogok, tapi lagi menunggu lampu merah di depannya menyala hijau.” jelasnya. “Kemudian Pahala Kencana datang. Melihat di depannya ada truk berhenti, sopir mencoba menyalip, tapi dicegah oleh kenek. Eh…taunya bis malah melorot dan kemudian mati mesin.”


“Di sini posisi terakhir bis Pahala itu.” jelentrehnya.


Sumber-20120707-01279

Ck ck ck…benar-benar extra ordinary case.


“Terus cara mengeluarkan truk dan bisnya dari sini gimana, Mas?” lanjutku setelah suasana pembicaraan mulai mencair.


“Truk dipaksa naik. Karena butuh tempat bermanuver, tebing di sebelahnya kudu dikepras dan diratakan. Butuh usaha keras dan waktu yang lama agar bisa menanjak. Setelah sampai atas, truk yang di depan menarik truk di belakangnya. Syukurlah, setelah berjam-jam akhirnya bisa.”


“Kalau bisnya?”


Yo mundur sampai ketemu lapangan kecil, Mas, kira-kira 2 km jaraknya dari sini. Itupun sampai kampas koplingnya habis dan mesti nunggu mekanik dari kantor Kudus.”


What? Atreet dalam posisi jalan sempit dan tanjakan panjang sejauh itu?


“Sebenarnya bukan itu yang membuat repot masyarakat sini, Mas”? dia mencoba membagi sedikit rahasia, karena kebetulan dia adalah salah satu sukarelawan yang membantu proses evakuasi.


“Terus apa?” tanyaku kian penasaran.


“Yang ruwet itu saat kami harus menenangkan para penumpang yang marah-marah kepada sopir. Nyaris saja dia dikeroyok untuk melampiaskan kekesalan. Dikiranya sopir ngga tau jalan dan ngawur dalam mengemudi. Setelah diberikan penjelasan oleh warga, barulah mereka mengerti.”


Ops…kasihan juga kru Pahala Kencana bernomor armada HT 7** itu. Sudah sial, malah dituduh sengaja menyesatkan seisi bus.


“Mas, saya buru-buru, ada perlu. Lekas pulang saja!” pesannya seraya berpamitan, meski kami belum puas menggali keterangan seputar kejanggalan peristiwa Alas Bonggan.


Hmm…orang yang aneh!


Tiba-tiba semerbak aroma wangi kembang melati menusuk indera penciuman. Kami pun saling berpandangan.


“Sudah Mas, tak usah lama-lama. Kita pulang saja!” pinta Agus. “Ssst…ada sosok perempuan menghampiri kita, Mas?” bisiknya kepadaku.


Tanpa dikomando, kami serempak naik ke dalam mobil sesuai arahan Agus. Saat hendak berangkat, pemuda berdarah Klaten dengan ciri rambut polem(poni lempar) itu kembali menyampaikan siaran pandangan matanya.


“Mas, penumpang mobil ini ngga cuma kita berlima, lho?” ungkapnya.


Hmm…maksud elu, Gus?”


“Ini ada beberapa dedemit ikut di dalam mobil. Belum lagi yang mengiring di kanan kiri kita. Seabrek, Mas!!!”


Mati aku…


Sudahlah Gus, tak usahlah cerita macam-macam apa yang kau lihat, bikinku mati kutu saja. Mpufh…


Kulajukan sedikit cepat oto sejuta umat garapan pabrikan Toyota itu. Selain gerah, pengap serta panas dengan atmosfer alam Kedung Bacin, jarum detik rasanya semakin cepat berdetak. Sekarang sudah jam 11.45, sementara countdown waktu tinggal tersisa 1 jam 45 menit untuk mencapai kantor perwakilan Garuda Mas di Blora. Kuasakah aku membawa Agus dan Mas Pon mengejar kepakan sayap Si Ijo dari Kedaung, Cirebon, yang akan diberangkatkan jam 13.30 dari agen Kaliwangan?


Sementara mereka harus mampir dulu ke rumahku, beristirahat barang sejenak dan rencananya akan kujamu makan siang.


“Oh, ini kali Mas yang dimaksud lapangan tempat bus Pahala Kencana itu putar arah?” sahut Mas Yeremia, setelah melihat tanah lapang dengan sidik kembangan ban kendaraan masih membekas di atasnya. Sekitar dua minggu pasca kejadian Bonggan, tyreprint itu masih terawat dan lestari, belum terhapus oleh taburan debu maupun siraman air hujan.


Japah-20120707-01289

Japah-20120707-01291

Hanya dua atau tiga menit singgah, kami pun melanjutkan perjalanan, sekaligus memungkasi acara tamasya ke negeri 1000 hantu itu.


Kutiti rute kepulangan dengan jalan yang sama persis sewaktu berangkat. Tak selang lama, dari balik kaca spion tengah, kulirik Bayu sudah tertidur di pundak Sera. Mas Pon sudah terbang di alam mimpi, dan Mas Yeremia di sampingku teklak-tekluk melawan kantuk. Agus tampak gelisah dalam peraduannya, dan sesekali terjaga terusik ketidaknyaman dunia lain yang sewaktu-waktu menyusupinya.


Sementara tinggal aku sendiri yang tersadar di balik kemudi.


Entahlah, teka-teki itu masih bergentayangan di labirin otakku. Meski aku telah menapaktilasi sirkuit ketersesatan bus Pahala Kencana, menyaksikan sendiri medan akhir kandasnya ketiga monster jalanan, mereka-reka kalkulasi teknis dan melakukan simulasi bagaimana cara kendaraan beroda enam lebih itu bisa blusukan di tengah hutan, mencoba berakrab ria dengan masyarakat sekitar hutan sebagai sumber referensi, namun di akhir episode aku justru speechless, gugup dan hilang akal andai disidangkan di hadapan para dosen dan guru besar untuk mempertahankan disertasiku bahwa kejadian Bonggan sebenarnya bisa dijelaskan dengan nalar dan logika. Itu bukanlah kemustahilan, di luar kewajaran atau menyingung dimensi supranatural.


Aku tak punya acuan formula, rumus sakti, kaidah a-b-c-d, metode komparatif, hitungan njlimet, maupun analisa detail untuk memecahkan perkara itu. Aku terlihat bego!


Nothing can be explained…


Ketika posisi mobil persis di bawah rindangnya empat pohon bernama latin Albizia Saman, yang merupakan gate entry menuju ‘benua gaib’ yang agung, adi luhung dan menakjubkan di kalangan para cenayang itu, tiba-tiba Agus terbangun.


Jaken-20120707-01298

“Mas…gua lega sekarang?” kata Agus dengan wajah sumringah.


“Kenapa, Gus?” jawabku.


“Yang ngikutin kita telah balik badan, Mas.” gamblangnya dengan senyum penuh kemenangan. “ Kita ini ibarat tamu akbar, Mas. Disambut, ditemani jalan-jalan dan diantar pulang sampai tapal batas oleh penghuni Kerajaan Bonggan.”


“Untung mereka bersedia mengantar sampai di sini ya, Mas. Kalau tadi kita ditawan, gimana coba?”


Husss…, jangan bercanda, Gus! Kualat nanti !?” dampratku.


----


How could Pahala Kencana trapped into Alas Bonggan? It’s still ‘Unsolved Mystery’.


Todanan-20120707-01274

 T – a – m – a - t

1 komentar: