Senin, 11 Februari 2013

Maafkanlah, Bila Ceritaku Suatu Dosa... (3)

“Jo, bus-bus yang dari Lebak Bulus masih di belakang kita?” tanya Pak Sopir tanpa gairah, saat tapak roda menggilas jalanan Kota Pati.


“Masih, Nyo.”


“Tolong ditelepon Jo. Kita oper saja penumpang kita. Aku ngga sanggup nyopir lagi. Hawanya apes, nanti malah tambah tak keruan kalau kita terus lanjut,” pintanya, seolah belum lepas dari bayang-bayang “kematian” si penunggang motor.


“Terserah Nyo. Terus kita mau ngapain?”


Sopir hanya menggeleng. Air mukanya memadam, menampakkan rasa bersalah dan kesedihan mendalam.


“Maaf Bapak, Ibu, semuanya. Busnya ini rusak, tak bisa melanjutkan perjalanan kita yang masih jauh. Nanti dioper ke bus belakang, yang sebentar lagi sampai. Sekali lagi kami minta maaf...”


Demikian announcement dari kru #3 kepada penumpang, saat bus dihentikan tak jauh dari Terminal Puri, Pati.


Penumpang mafhum walaupun sebenarnya bus masih bisa dipaksa berjalan. Mental dan psikis pengemudi yang tengah terguncanglah yang jadi sumber penyebabnya.


Seketika itu pula mereka menyibukkan diri untuk “proses evakuasi”, menata badan, mengemasi barang-barang bawaan, dan selanjutnya turun menanti bus pelangsir.


Saat menunggu, kucoba menelisik bagian moncong bus yang sebelumnya menggebuk habis-habisan sepeda motor.


Ya Allah...Ya Gusti...


Terlihat bumper berbahan fiber di bentangan kiri porak poranda tak berbentuk lagi. Kaca headlamp berbentuk bidang daun pun retak berantakan, meski bohlamnya masih sanggup memancarkan sinar kemilau. Dan yang mengiris lara adalah “prasasti bisu” di atas lampu besar, berupa tertinggalnya cat bodi motor berwarna merah darah yang masih hangat menempel di atas kulit legam tubuh Royal Coach E. Goresan panjang tak beraturan itu seakan jadi signature bahwa telah tergariskan kontak fisik tak seimbang antara “David vs Goliath”, dan (barangkali) juga pencatat akan momen krusial berpisahnya ruh dari raga seorang anak manusia.


***


Wahai...jalan raya. Mengapa Engkau yang hakikat muasalnya diciptakan sebagai tempat saling berbagi kini malah  mengalami dekadensi, menjelma menjadi kubangan pentas ego diri serta arogansi?



T – a – m – a - t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar