Senin, 11 Februari 2013

Escape From Comfort Zone (1)

“Ah, nasib...nasib...Mengapa dunia begitu sentimen pada  pelaku ‘cinta berat diongkos’ sepertiku ini!!!”


Tak terbendung lagi batinku melisankan umpatan. Seakan tak kenal dosa saja diri ini mengutuk hari. Hilang sudah kearifan budi untuk menjauhi sifat keluh kesah, tatkala disuguhi aksi profit taking  nan super gila-gilaan yang di-aktor utama-i oleh secarik tiket bus.


Bagaimana tidak?


Saat mengintip trip fare Rembang-Jakarta untuk keberangkatan Hari Minggu 11 September, dua agen yang kujadikan tolok ukur mewartakan “sesuatu” yang jelas-jelas mengusik ketenangan neraca moneter. Pahala Kencana pajang angka Rp305.000,00, sementara manajemen tempat The Phoenix, The Destroyer dan The Titans bernaung me-launching nominal Rp280.000,00. Padahal, saat normal season, fluktuasinya takkan bergeser dari range 80.000 s.d 140.000.


“Edan...edan...bea oneway  merongrong alokasi dana sekali PP!!!”   


Yang lebih mengiris hati, baru kali ini “durasi keanomalian” berlangsung lebih panjang lagi lama. Dan ini bisa jadi preseden buruk, kekacauan penerapan tarif pascalebaran akan menjadi bahaya laten yang terus menghantui alam Plat K. Setahun yang dulu, seingatku, lepas H +7, bus-bus tak lagi berani mematok mahal, setinggi-tingginya “cuma” 50% dari banderol resmi. Tapi faktanya sekarang? Hingga dua pekan sesudah hari raya, masih di-upping hingga hampir tiga kali lipat!


Bencana kedompetan bagi penumpang -- wabilkhusus pemudik mingguan tentunya --, sebaliknya musim panen bagi perusahaan-perusahaan otobus.


Analisisku, inilah multiplier effect atas tutupnya layar PO Senja Furnindo pada akhir 2010 silam. Belasan bus milik imperium Senang Jati Furniture Indonesia yang kehilangan pekerjaan, menyumbang andil atas susutnya ketersediaan 400-an kursi per hari selama rentang arus mudik – arus balik tahun ini. Di sisi lain, demand akan jasa moda darat itu kian menjulang, supply tak mampu lagi mengimbangi permintaan. Finally, hukum ekonomi yang berdaulat, melegitimasi si “empunya harga” untuk bertindak semena-mena.


What will I do to eliminate this case?


“Mas Indra, tiket buat Minggu sore nanti berapaan?” kucoba mengorek bursa tiket di Terminal Pati, saat kulihat status Yahoo Messanger sesepuh BMC Muria Raya itu online, empat hari sebelum perjalanan balik ke Jakarta kutunaikan.


“Rata-rata masih di atas 200-an, Mas. Nusantara jual 260 ribu, TSU (Tri Sumber Urip) dan Selamet 240 ribu. Itu pun masih bisa naik.” jawabnya.


Duh...duh...tak terlalu signifikan untuk menunjang langkah pengiritan.


“Kalau ekonomi, Mas?” tiba-tiba aku menemukan solusi jitu, meski untuk itu, aku harus siap-siap angkat koper, melarikan diri dari zona nyaman yang selama ini diselenggarakan armada-armada kelas VIP ke atas.


Tak mengapa, busmania kok alergi terhadap bus berjenjang rendahan itu? Demikian nyanyian soul of my advanture menohok keangkuhanku yang terbiasa keenakan dibui fasilitas wah dan meninabobokan.


“Garuda Mas 180 ribu. Bayu Megah kayaknya juga segitu...”


Bajigur...mahal juga ternyata, kukira di level 150-an.


“Mas, ada yang sedikit lebih murah. Mau?” bujuk Mas Indra.


“Bus apa, Mas?” aku terheran-heran.


“Tri Sumber Urip,”


“Ha? TSU punya ekonomi juga? Berapa harganya?” aku semakin penasaran.


Info dari Mas Iwan (agen TSU Pati), khusus Minggu, Bah Do menjalankan bus ekonomi,” terang founding father Warung Mak Ni Community ini. “Sekitar 170 ribu, tapi kemungkinan bisa kurang, Mas. Saya usahakan dapat seat depan”.


“Jangan-jangan pakai armada bumel Lasem-Semarang, Mas?” candaku.


“Haha...dijamin bus anyar Mas, yang biasa buat wisata,”


“Boleh Mas, booking aja ya...” akupun mengiyakan. Gimana lagi, no hope no choice, tiada tiket yang lebih bersahabat dari bilangan 170.000.


“Siap-siap ah, menikmati sajian eco-vaganza rute Pati-Jakarta untuk kali pertama! Sekalian lepas kangen, sudah 30-an purnama tak mencumbui PO sekampung halaman denganku itu.” hiburku membulatkan tekat.


Tapi sayang sejuta sayang, rencana itu teranulir kala Mas Indra gantian mencolekku lewat ruang bincang-bincang yang difasilitasi Yahoo Inc. itu, dua hari sesudah chat part I.


“Maaf Mas, karena satu lain hal, TSU tak jadi memberangkatkan ekonomi.”


“Aduh...gimana Mas, ada alternatif lain ngga?” aku mulai dibayangi kegalauan.


“Garuda Mas saja ya Mas, ini ada seat no. 6, harga 180 ribu. Cuma agen minta, paling telat Hari Sabtu tiket sudah diambil,” gamblangnya. “Dan jangan lupa, Garuda itu paling on time jadwalnya, jam 16.00 harus kumpul.”


Hmm...tak apalah. Tri Sumber Urip versus Garuda Mas, setali tiga uang, sama-sama pengusung formasi 2-3, sama-sama pencipta damai di bilik saku yang tengah meradang. Hehe...


“Siap Mas. Kebetulan lusa ada acara ke Pati, nanti sekalian saya mampir ke terminal.” ucapku dengan nada lega. “Sekali lagi, terima kasih atas kerepotannya.”


Sabtu siang nan terik...


Sambil menunggu jadwal praktik dokter kandungan di Keluarga Sehat Hospital buka, dilanjutkan acara silaturahmi ke tempat Mas Indra serta teman komuter di seputaran Pati, kusambangi Pesantenan Busport  untuk melunasi selembar bukti legalitas sebagai sewa PO Garuda Mas. Yang unik, menurut sharing obrolan dengan Mas Iwan yang saat itu kutemui di terminal, semua loket bus hanya melayani penebusan tiket, tak ada lagi transaksi penjualan untuk Sabtu sore, semuanya ludes, tak ada yang tak laku.


“Berapa armada TSU yang ngelen, Mas?” tanyaku kepada shohib Mas Indra itu, untuk mengecek seberapa jauh tingkat kehiruk-pikukan sore nanti.


“Delapan Mas, tapi sudah tak ada kursi sisa...”


Sahih, calon penumpang terus saja membludak. Itu baru “klub medioker” selevel TSU. Belum lagi amunisi Pahala Kencana, Shantika, Haryanto, atau Nusantara. Berapa banyak lagi isi gudang peluru yang mereka kerahkan?


Mimpi kali yee...berharap harga sebiji kursi bakalan murah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar