Senin, 11 Februari 2013

GreenZational (3)

Setelah memberi kesempatan isoma (istirahat sholat makan), kurang lebih 40 menit kemudian, Lorena produk 299 ini melanjutkan pengembaraan  menuju kampung halaman Ida Ayu dan I Wayan. Subtitusi driver dijalankan, meski urusan habit dan attitude driving, tak ada perbedaan menyolok alias setali tiga uang dengan joki pertama. Cukup-cukup santun di jalan, lemah gemulai bahkan cenderung kelewatan, hingga mempersilahkan jenis kendaraan apapun untuk mendahuluinya. Hehe...


Meski begitu, Gajah Mungkur Evolution sempat disisihkan sebelum menyejajari sebuah Mikrolet M-15 yang lampu belakangnya blank out. Entah mau kemana angkutan trayek Tanjung Priok – Kota ini, hingga nyasar ke rute bus malam.


Benerin dulu tuh lampu, nyiksa mobil belakang!!!” pekik Pak Sopir lantang, mengingatkan kita bahwa potensi kecelakaan membesar andai pengguna kendaraan abai terhadap kelengkapan kendaraan termasuk lampu-lampu. Sebuah tindakan yang patut diacungi jempol, selaras pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”.


Belum lama berjalan, di Patrol, bus berhenti lagi untuk loading paket. Satu persatu, penggiat malam Pantura berlalu. Dari urutan depan, tercatat Santoso Hinomaru, Raya Panorama DX, serta Rosalia Indah 252. Eretan pun turut menjadi saksi kegarangan PO Sahabat Al Zidan yang benar-benar melumpuhkan pergerakan si penyandang gelar ISO 9001 : 2000 dari Anglo Japanes American (AJA) ini.


Dari Losarang hingga menyusuri bypass Widasari, bertemulah kawan seiring sejalan, Pahala Kencana B 7903 IW. Laksana Proteus itu rajin membimbing New Celcius, sampai-sampai aku mengandaikan bahwa “tanpa pernah sejengkal pun” melebarkan jarak. Tapi sayang, setelah berakrab ria sepanjang hampir 10 km-an, provokasi yang dilancarkan PO Sumba Putra memporak-porandakan pertemanan yang telah dikreasi. Ombak Biru bertrayek Jogja-Klaten sepertinya tak terima dikompori geberan gas mesin tua Galaxy Coach berkode 19, saat disalip dari sisi kiri. Dilupakannya Lorena yang adem ayem ini, bergegas dikuntitnya bus ranah Wonogiren itu, dan dalam hitungan belasan detik, tak tampak lagi sorot back lamp-nya. Busku kesepian lagi…


Jujur saja, aku turut prihatin atas dibukanya kembali bypass Widasari, belum lama ini. Jalan pintas ini setidaknya membunuh separuh eksistensi jalan lama, yang membujur antara pertigaan Celeng hingga pertigaan Widasari, sebab kini tak laku lagi dilirik bus malam. Padahal, sirkuit ini adalah stereotip jalan Pantura tempo dulu, yang hanya terdiri dua lajur, dengan pepohonan besar yang mengapit kedua sisi jalan. Saat musim mangga Indramayu yang terkenal besar dan ranum daging buahnya, bertebaranlah pedagang musiman yang menggelar lapak di pinggir jalan. Sebuah harmonisasi indah antara jalan Pantura, hasil alam dan masyarakat setempat.


Di trek yang relatif lurus inilah panggung catwalk para driver unjuk kebolehan dan adu nyali, main loop-loopan, melarikan armadanya sekencang-kencangnya sambil menari-nari meliukkan badan bus di tengah barisan angkutan berat yang merayap. Terlebih saat melewati area pembuangan residu produksi gas alam berupa kobaran api yang menyala-nyala ke awang-awang, serasa jilatan panasnya turut membakar pertarungan medan Pantura yang dari dulu memang terkenal panas. Malangnya, kini semua hanya tinggal kenangan, jadi pemanis bibir penutur cerita tentang kekeramatan jalur Pantura.


Kertasemaya–Tegal Gubug-Tol Cirebon tak mampu aku tangkap lagi gambarnya, kalah oleh pemejaman mata secara bergilir. Sejenak terjaga saat bus yang dilengkapi fasilitas smoking room ini menapak teritorial Gebang. Yang artinya, exit Kanci yang dipilih, bukan melenggang ke tol Pejagan.


Bangun kembali di ruas Brebes-Tegal saat posisiku menempel Lorena rasa Patriot yang mengusung trayek LB-2406, tujuan Tegal–Slawi–Purwokerto. Sementara dari arah berlawanan, arus bus malam yang mengangkut pemudik yang akan kembali meladang seolah tiada jedanya.  Bus Kudus-an, Solo-an, Ponorogo-an, Jogja-an, Pacitan-an, Purwodadi-an hingga Wonogiri-an seakan tak putus, sambung menyambung menjadi satu. Dugaanku, demand atas bus masih begitu tinggi, calon penumpang membludak berkaca pada armada PO Nusantara yang sempat kutatap kaca depannya, dengan kode jurusan aneh-aneh, semisal NS-26, NS-100, NS-102 dan NS-108, yang tak bakal dijumpai pada hari biasa.


Agen Kota Tegal. Controlling kedua yang dilakukan setelah Cikampek, menambah deretan  spot yang kudu dihampiri bus-bus Lorena-Karina arah ke timur.


Ada kejadiaan yang mencuri perhatianku saat bus bervolume silinder 6374 cc ini menjilati lapisan aspal daerah Dadapan, Tegal. Tak selang lama setelah disalip Rosalia Indah 206, tiba-tiba mengalir deras Pahala Kencana RK8 K 1603 B dari sebelah kiri dan kemudian membabat habis halang rintang kendaraan-kendaraan lain di depannya. Dari larinya yang ngotot dan seolah kesetanan -- ingkar dari adat istiadat divisi Kudus -- aku menduga Mas Ferry Fonda sang penghelanya. Masih terngiang kabar itu, bahwa selama lebaran ini dia jadi serep armada 1603. Jangan-jangan memang benar adanya.


Mendekati lingkar kota Pemalang, bus yang mengadopsi teknologi mesin intercooler turbocharger berhasil mencetak skor, mengandaskan langkah Santoso seri N, Pasar Kemis-Klaten, sebelum setor muka ke checker yang didapuk juga sebagai agen chapter Kota Ikhlas.


Aku pun nyenyak kembali, dan tersadar saat kru meminta stempel dan bubuhan tanda tangan dari kantor perwakilan Pekalongan. Pufhh…Jakarta-Pekalongan sampai empat kali wajib lapor, yang artinya ada sekitar setengah jam masa yang tersita. Cape deh


Mode alam sadarku yang on-off melulu, mengubur diorama malam kawasan hutan jati Alas Roban. Melek mata kulakukan secara paksa saat kurasakan busku berhenti begitu lama, tepat di belakang OBL Jakarta-Solo Si Hantu Laut B 7777 IZ. Rupanya, berbarengan berhenti di agen Krapyak, Semarang, yang letak keduanya berdekatan.


Ada sedikit permasalahan di sini. Armada bertahun emisi 2011 dipending keberangkatannya, menunggu Karina Madura di belakang yang diputus perpal karena ada permasalahan engine.  Akhirnya, dapat limpahan penumpang tujuan Bangkalan serta Lamongan, yang akan didrop ke rumah makan Taman Sari, Tuban, menanti bus yang sesuai jurusan. Kasihan juga mereka. Tapi siapa yang berharap ada kejadian yang cukup menganggu di tengah acara bepergian?


Kupandangi lagi display waktu yang tak pernah mogok kerja itu, tertulis 01.24. Loh, meski lamban dalam urusan lari, menurutku masih di dalam range waktu tempuh yang wajar, 9-10 jam untuk Jakarta–Semarang. Little surprising tentunya bagiku. Padahal di awal trip, aku terlalu underestimate. Semisal jam 6 pagi LE-612 mampu menurunkanku di Rembang, sudah merupakan rekor yang patut dihargai, mengingat rapor merah saudaranya, KE-460 Rawamangun-Bojonegoro yang seringkali tengah hari baru tiba di bumi Dampo Awang, padahal beda jam keberangkatan dari Jakarta tak sampai 3 jam.


Bisa tembus 12 jam kah,  dengan menyisakan spesial stage Semarang-Rembang?


Dengan kendali beralih kembali ke driver pertama, bis berdaya hingga 260 tenaga kuda ini melanjutkan derap kaki-kakinya dengan santai, tanpa pernah memforsis kinerja enam batang torak yang terbenam di dapur pacu. Tak urung, di arteri Pelabuhan Tanjung Mas, Budi Jaya bertagline “Arjuna Mencari Cinta” dan Pahala Kencana B 7689 IV melancanginya. Kemudian ditiru juga oleh Haryanto The Ocean di wilayah Genuk dan Nusantara Irizar jadi-jadian di Sayung.


Di batas kota Kudus mengarah Pati, terjadi kecelakaan frontal yang melibatkan mobil travel vs Toyota Kijang. Mikrobus terguling melintang di tengah jalan, sementara MPV 2000 cc terbang dan nyungsep di rumah warga. Sepertinya kejadiannya belum lama terjadi, terlihat dari kesibukan warga dan aparat kepolisian yang tengah berupaya mengevakuasi bangkai kendaraan.


Entah tidur part ke berapa yang aku adegankan, saat raungan mesin Hino Putri Michiko-nya Nusantara koridor Poris Plawad-Kudus-Rembang menjerembabkan “The Green”, membuyarkan peraduanku. Kuedarkan pandangan sekeliling, hmm…areal tambak garam Kaliori. Sesegera mungkin aku menghadirkan seluruh nyawaku, karena 5 km lagi bersiap turun di alun-alun tanah kelahiranku tercinta, yang malam itu masih dipayungi duka nestapa lantaran pasar kota luluh lantak diamuk jago merah, hingga membumihanguskan sebagian besar kios berikut isinya, hari Rabu sebelumnya.


Dan tepat pada pukul 04.10, saat detik-detik menjelang adzan subuh berkumandang dari Masjid Agung Rembang, aset berharga yang asal muasalnya dari jerih payah Bapak GT Soerbakti itu menyelesaikan tugas dalam melayaniku. Tak sampai 13 jam untuk memangkas jarak sejauh hampir 600 km.  Lumayan hebat juga…


Sungguh beruntung lika-liku perjalanan yang baru saja paripurna kuemban. Berjodoh dengan armada teranyar, disempurnakan dengan ketepatan waktu tempuh. Meski miskin determinasi, tertatih-tatih dalam berlari, pelayanan off board dan on board yang perlu ditambal sana disulam sini, namun setidaknya tercapai cita-cita pribadiku untuk tetap lestari menggandeng tangan Lorena dalam satu pengamalan ritual mingguan. Bagaimanapun kondisi dan keadaannya, meski kini lebih sering dihujani kritik, jadi ajang cemoohan hanya lantaran emblem OH 1725, dipandang tak lagi istimewa, hingga muncul sikap apriori menjurus antipati terhadapnya, aku tak bakal bisa menghapus aroma keharumannya dari palung sanubari terdalam.


Karena dialah alasan mutlak, yang telah menyihirku hingga akhirnya aku terkagum-kagum pada magnificient sebuah bus. Di mataku, itulah “kesensasionalan” yang melekat abadi pada sosok magis yang bernama Lorena.


Aku sendiri menjuluki kesensasionalan itu dengan “GreenZational”, hasil rekayasa peng-akronim-an idiom “Green Sensational”.


IMG00290-20110909-1504



Sah-sah saja, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar