Senin, 11 Februari 2013

Sssttt…Tarif Kencan “Dara” Cuma 130 Ribu Semalam. Mau!? (Eps 5)


Sejujurnya, terlihat kebodohanku saat mengautopsi bus yang telah berkali-kali mem-fashion tubuhnya. Tak satupun bagian jasad yang menyuratkan ciri khusus sebagai clue untuk mencari kebenaran siapa yang merakit armada ini.


IMG00189-20120409-2049


Lampu depan mengadopsi kepunyaan Legacy, back-lamp mengunggah bentuk smiley. Lekuk-lekuk bodi ataupun lengkungan-lengkungan kaca pun awam bagiku. Hanya rancangan rack roof serta posisi louver AC yang mengingatkanku pada armada Big Bird yang dulu “dipinjamkan” BMC sewaktu acara “Goes to Sarang Biru”.



Konklusiku, basis tubuh “Si Dara” adalah model Classic buatan Restu Ibu. (Maaf, kalau salah terka?



20.57



OM-366A memulai intermedite II, dengan Pak No sebagai operator. Belum sempurna mengambil jalur, PO Handoyo AA 1409 AA serta Santoso bersticker komunitas tetangga melangkahinya.



Dan mereka berdua lah yang jadi kawan hiking pendakian Bukit Plelen.



Trio oldtrack pun beriringan, dan semuanya kompak kepayahan  menaklukan tanjakan yang dibangun untuk mengurai kepadatan tanjakan Poncowati, jalur lama itu. Bahkan, sempat dua kali bus yang hanya berdaya maksimal 170 HP ketenggak, tak kuat menanjak. Terpaksa hand brake diaktifkan, dan memulai awalan dari gigi terendah. Very…very horrifying!



Tak ayal, Nusantara NS-65 disusul Tunggal Dara AD 1701 CG memamerkan superioritasnya.



Menapak Alas Roban, barulah agresifitas dan kehandalan OH Prima ini meluap-luap. Bus mulai berlari dan sepanjang ruas sejauh 50 km-an, berhasil mengintimidasi Handoyo dan Santoso, yang mencundanginya pada leg pertama.



Di Tulis, saudara PO Rhema Abadi itu melempar handuk, menyisakan Laskar Gunung Tidar yang ngeyel dipelorot dari pucuk klasemen.  Barulah, menjelang Kota Pekalongan, bus yang dipuja-puja oleh Santoso Lovers itu mengibarkan bendera putih.



Kota Batik, jadi ajang unjuk nyali dengan style ngelong kanan setiap mendekati lampu merah. Tak terhitung, peserta Liga Pantura yang dipameri keseksian pantat Si “Dara” yang padat berisi ini.



Bahkan, sesaat sebelum melintas di Pasar Wiradesa, mendurhakai “bapaknya”, mencecar Tunggal Dara bernomor lambung 57, dengan serbuan lampu dim.



Sayang, perjuangan itu sia-sia, kala dua orang turun dan kudu unloading bertumpuk-tumpuk paket. Tak kurang dari dua Bogor Indah, dua Premiere Class Nusantara, Haryanto Destroyer B 7016 VGA   dan anggota skuad APPG (Angkatan Pagi Pulogadung), PO Shantika H 1419 BE eks Dewi Sri Asri, menyetrapnya.



Namun sesudahnya, salah satu armada Bogor Indah tersebut, B 7113 GD, dicecerkan dari persaingan, kala diasapai di teritorial Ambowetan, Comal.



Saat kantuk menyerang, lantaran sudah enam jam menikmati landscape Banyumanik-ringroad Pemalang tanpa tidur sekalipun, adegan seru itu ditayangkan.



Siapa yang sangsi akan kehebatan Kramat Djati “Jack Daniels”?



Setra Comfort yang menggawangi trayek Klaten-Jakarta itu terlalu kuat untuk ditandingi. Setelah terlibat pertempuran seru antar keduanya, akhirnya aset warisan mendiang Pak Darmo, Pendiri TDI Grup, ini terjerembab oleh sepak terjang The Flying Eggs.



---



Kukucek-kucek kelopak mata, setelah kurasakan bus berhenti lama.



Rupanya, “Dara”ku berperan sebagai senter penerang bagi poolmatenya, Tunggal Dara Putera AD 1589 DG, yang sedang mengalami masalah di daerah Dampyak, Tegal. Para kru saling bahu-membahu mengatasi permasalahan yang ada. Sepertinya ada problem besar sehingga cylinder cop OH King itu perlu dibongkar.



5 menit…15 menit…30 menit…1 jam…Belum teratasi juga. Penumpang bus depan sebagian sudah meninggalkan takhta nyamannya lantaran pengap, gerah lagi gulita.



Beda dengan orang Muria-an, yang langsung mengerubuti awak bus yang sedang bekerja, memberikan pressing agar gawean cepat diselesaikan, sembari “ngoceh” macam-macam, mereka malah tenang-tenang dan asyik ngobrol sendiri.



Memang, karakter setiap masyarakat tak sama. Pantaslah, orang kidulan dilabeli cap alon-alon waton kelakon, terlihat dari penyikapan penanganan trouble di jalan yang terkesan nyantai dan sakmlakune.



Koloni Muria-an yang slottime-nya di belakang Solo-an satu persatu merangsek. One of them adalah Scania Kebo Shantika yang aku sebadani beberapa bulan silam.



Itulah yang membuatku terpekur dan merenung. Dalam konteks dunia transportasi bus, betapa beruntungnya aku, yang lahir, tumbuh dan besar dalam tlatah alam Paku Jembara (Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora).



Dengan tarif kencan yang nyaris sama, 130 ribu versus 140 ribu per malam, Si Shanti lebih memberikan segala-galanya dibanding Si Dara.



Ah, sudahlah…mengapa aku mesti mengeluh. Kubuang jauh sikap membanding-bandingkan dua hal yang tak sama variabel serta parameternya. Toh, mengencani “Dara” adalah pilihan-pilihanku sendiri.



Kalau nasi sudah menjadi bubur, mengapa aku tak berpikir untuk mengolahnya menjadi bubur ayam?



00.15



“Pelan-pelan saja, ini darurat, nanti diperbaiki yang benar di Jakarta. Aku ikuti dari belakang…” imbau Mas Ambon kepada kru 89.



Dua merah-kuning itu berjalan serentak. Hilang sudah ekspektasiku, bahwa dengan naik bus Solo-an akan lebih pagi tiba di ibukota. Nyatanya, yang jadi orientasi sekarang bukan lagi bagaimana mengejar pagi, melainkan bagaimana bus menggapai Jakarta.



02.05



Terminal Harjamukti, Cirebon. Bus yang interiornya cuma dilengkapi patung bisu berupa TV tabung 14 inchi dan jajaran speaker di langit-langit itu melakukan checking, dan kemudian melenggang kembali masuk tol Plumbon.



Aku terbangun kala sensor pencatat kecepatan di tubuh membangkitkan sinyal bahwa bus melaju cukup kencang.



Benar lah adanya.



Di hamparan bypass Widasari-Losarang, putaran deras “donat hitam”nya mampu menaklukkan Garuda Mas Celcius, Sinar Jaya Pekalongan serta Bogor Indah B 7300 XA.



Senioritas Pak No kembali mengawang, saat menundukkan PO elite, Rosalia Indah kode 312, busnya orang Wonosobo - Dieng Indah AA 1681 BF serta mantan sohibnya, Sumber Harapan K 1509 FA.



Kemacetan kembali menghadang tepat di depan RM Nikki, Pamanukan. Jalur ke barat berhenti total, sedang arah Cirebon relatif sunyi senyap.



Mengandalkan intuisi serta sokongan dana mel-melan, bus yang di awal kelahirannya pernah mengakuisisi PO Ratna, Pacitan, itu lantas menyapu bersih jalur berlawanan. Tak peduli dia sendirian ataukah nanti didapuk menjadi “imam” blong kanan, fakta aktualnya lautan bus malam berhasil diarungi. Tak dipedulikannya lagi hingga lima kali mesti nyogok petugas agar diberi fasilitas jalan, menembus crowded-nya lalu lintas.



Mantap, ternyata virus yang bernama latin ngeblong ngananensis itu telah mewabah.  Hehe…



Kembali ke trek Pantura. Bus dengan lingkar setir segede tampah ini kembali menghirup radikal bebas yang dihembuskan knalpot dua Pahala Kencana, B 7989 IV serta Nano-nano B 7598 IX.



Di depan Balai Benih, tampak HS-217 mengalami gangguan mesin, ditemani cs-nya, NewTravegoLondonBridge dan Irizar abal-abal.



Tak ingin menanggung malu, Tunggal Dara Putera pun mengamuk. Digagahinya Handoyo New Celcius AA 1456 DA, Raya 03, Ramayana Setra Adi Putro dan Handoyo Panorama 3 di etape Sukamandi-Patokbeusi, sebelum dijewer oleh PO Shantika Oranye berpelat AD menjelang Cikopo.



Tepat jam 04.30, penjaga gate entry Dawuan mengenakan bea tol kepada bus yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Gajah Mungkur serta Gajah Mulia Sejahtera itu.



Hatiku melonjak kegirangan, riangku mencapai klimaks menatap realita yang ada. Bayang-bayang akan kejamnya guillotine mesin absensi bisa aku elakkan. Ini hari Selasa, semoga lalu lintas tak seramai kemarin. Dengan puing jarak tinggal 70 km-an, masih ada spare masa 3.5 jam untuk mencapai lobi kantor.



Aku dibekap euforia, ternyata tua tak berarti mati gaya.



“Dara, meski dirimu punya kekurangan, namun nge-date semalaman cukup memuaskanku. Tak apalah meski tarifmu sedikit kemahalan bagiku. Suatu hari nanti, aku akan mendekapmu kembali, Dara.” sanjungku. Dan selanjutnya kutarik selimut merangkai puzzle-puzzle mimpi.



Gleekk…gleekk…gleekk…



Kurasakan mesin shut down saat mendaki jembatan penghubung exit Cibitung. Dan semakin lama, gelinding roda tak mau merangkak lagi tepat di atas gelagar jembatan yang melintang di atas jalan tol Jakarta-Cikampek.



“Mbon…Ambon….Mati aku, masuk angin. Jangan-jangan solar habis!!!” seru Pak No dengan sedikit panik.



 What!!! Solar habis!!! Tinggal afterplay, mengapa Dara Wonogiri ini malah loyo!?



05.32



Lantaran lima menit berlalu tak ada progress berarti, aku mendadak berubah pikiran. Menganut paham tukulisme, aku harus quick respon, karena bandul waktu semakin menghimpit.



Kusambar tas yang sepanjang malam ngumpet di bawah jok. Cepat-cepat kuturuni tangga dan kuputuskan untuk berjalan kaki mencapai perempatan pul Sinar Jaya. Masa bodoh lah, aku tak mau mengadu dan menuntut apa-apa kepada Tunggal Dara Putera lantaran karam dalam ikhtiarnya menghantarkanku menuju sawah pencaharian.



“Payah…kemarin pulang mogok, sekarang mogok lagi. Wis, dasar bus tuwo..” caci salah satu penumpang, terdengar lembut di telingaku.



Di ambang kemenangan, terpaksa aku kudu mengkristalisasi keringat, dihadiahi bonus joging sejauh 200 m.



Emoticon apa yang pantas terlukiskan, menanggapi suka duka, lika-liku sewaktu mewujudkan cita-citaku menyelami citra diri serta daya magis Si “Dara”.



Entahlah, susah untukku mengilustrasikannya.



 “Priok…Priok….Podomoro…”



Sebuah bus kota perlahan melintas membuyarkan kekesalanku. Cepat-cepat kuangkat dua tumit ini menjilati kabin Evo-C. Maya Raya, B 7131 YL, Cikarang-Tanjung Priok via tol Cibitung, adalah pahlawanku.



Tatkala artileri Mayasari Bakti Grup berlambung T269 tepat melintasi flyover, jelas tampak AD 1449 DG masih berkutat dengan keapesan yang menimpa. Dan sekarang bergantian tandemnya, AD 1589 DG, yang mogok semalam, jadi senter penerangan bagi mantan “Dara”ku itu.



Saling setia, guyup dan rukun koyo mimi lan mintuno. Itulah yang dinamai Ngadirojo Solidarity… 



--- 



 IMG00190-20120410-0541


Dara…oh, Dara… mengencanimu ternyata tidak indah pada akhirnya. 



T  -  a  -  m  -  a  -  T






 

3 komentar:

  1. Memang,,,pekerjaan 'memilih' merupakan aktifitas terbanyak dalam hidup ini,,,, tulisannya mantab seperti biasanya mas Didik,,,,:-)

    BalasHapus
  2. Hehe...bener, Mas. Dan "memilih jodoh" adalah aktivitas paling sedikit dalam hidup ini.

    Terima kasih sudah berkunjung. :)

    BalasHapus
  3. Luar biasa tulisannya bung.. anda terlihat begitu menguasai dunia perBUSan. Kebetulan sy tinggal di pinggir jalan pantura. Mata sy dari kecil sdh begitu akrab dengan berbagai model bus yg setiap saat selalu bermetamorfosis menjadi lebih indah dan lebih indah lagi... sukses slalu bung..

    BalasHapus