Senin, 11 Februari 2013

S (c) A N (i a) J A Y A (3)

Menjelang Pergantian Hari


Pukul 22.09


Aku terbangun kala piranti balon udara penyusun fitur air suspension meredam gejolak jalan tanah yang tak rata, dan sedetik kemudian lampu-lampu kabin menyala terang.


Rupanya halaman rest area Barokah Indah, Patrol, say welcome dan tiba masanya menyuntikkan asupan gizi ke dalam pundi pencernaan. Dan ini adalah kunjungan pertamaku ke rumah makan yang bernaung di bawah grup Mendhosari. Terakhir kali aku naik Shantika sebelum babak baru Scania, bersama New Marcopolo Ijo Tosca Hino R-260, layanan gala dinner masih dipercayakan kepada pramusaji-pramusaji binaan Rumah Makan Taman Sari II, Pamanukan.


Hmm…ternyata tanpa sengaja, aku benar-benar menikmati sleeping beauty sekeluarnya dari Tol Cikampek. Merugi, padahal dari awal take off, aku bertekat untuk melek mata semelek-meleknya, merekam jejak setiap jengkal lahan yang dilahap bus yang penjualannya di tanah air “kudu” lewat tangan United Tractor Indonesia ini. Kenyamanan armada didukung faktor kecapaian selepas kerja, berkolaborasi menghadirkan penayangan sekuel film “Bunga Tidur”  di alam mimpiku.


Saat tengah menikmati jamuan gratis yang dihidangkan, kuedarkan tatapan ke sekeliling. Dan aku baru tahu, ternyata di sini pulalah Muncul dan Damri merehatkan punggung setelah menuntaskan intermediate pertama dari rute yang bakal ditempuh, di samping PO bumi Kartini yang lain, Bejeu. Tampak kelas Big Top AD 1663 DA serta jauh di belakang sana bus-bus PO Damri dengan paras dan bentuk tubuh yang neko-neko, sedang beristirahat.


Setengah jam kemudian, bus yang cikal bakalnya lahir di Semarang selatan ini -- berdasar rotasi jam kerja driver – hendak memulai sesi kedua, bertepatan dengan kedatangan Scorpion King Yudha Express, K 1422 CC, yang akan membuang sauh, berlabuh sementara waktu. Inilah “Majesty of Transportasion” yang tak bisa membendung aliran liur untuk mencumbuinya. Yang menimbulkan tanya, ini bus berangkat dari mana? Jangan-jangan betul apa yang diceritakan salah seorang teman komuterku, bahwa  “Lumba-Lumba Jepara” meningkatkan status menjadi sapu jagat klan Muria Raya. Ada kalanya antara jam 18.00-19.00 masih terlihat sibuk mengais buruan, baik di Pulogadung, Kalideres ataupun Lebakbulus.


Yang membuatku salut adalah keakraban timbal balik yang dirajut Shantika dan Yudha Express. Kemesraan yang dipertontonkan antarperusahaan sebidang dan bersinggungan di tengah pusaran “Plat K Super League” nan sengit, terasa hembusan angin sejuk dan menenteramkan. Yang demikian bisa mengoreksi sejarah yang seringkali menulis bahwa “murid-murid” jebolan Padepokan Gunung Muria demen eker-ekeran sendiri, cakar-cakaran, jegal-jegalan, gengsi gede-gedean bahkan dengan bahasa kasar, saling tikam menikam.


“Turun di mana, Mas? Semarangnya mana, Pak? Maaf Bu, nanti ngga lewat Matahari…” 


One by one, tujuan akhir para pengguna jasa diperiksa dan dicatat oleh kru 3 alias kenek, ketika bus meneruskan heading-nya. Sebuah prosedur yang kelihatan sepele, tapi menegakkan citra positif bagi PO yang menerapkannya. Selain menjalin kedekatan kru dengan “tamu yang menginap”, menjunjung unggah-ungguh serta memuliakan sewa, namun sejatinya juga meminimalisir tindak kejahatan oleh oknum yang menyamarkan diri sebagai penumpang.


“Tadi ada masalah apa, Mas?” tanyaku padanya saat kena gilir pengecekan, merujuk kejadian di Rawamangun sebelum pemberangkatan.


“Ada penumpang nggateli (menjengkelkan) Mas. Mosok, sudah bayar tiga bangku yang dipesen tapi ngga jadi berangkat. Tadi satu orang sempat datang tapi terus izin pulang, katanya dompet ketinggalan. Eh, pas mau berangkat, tak satupun  yang nongol dan HP-nya ngga bisa dihubungi.” bebernya. “Mau kita tinggal, ngga enak, mereka sudah bayar mahal. Kita tunggu, malah diomelin penumpang lain. Shantika dicap ngga tepat waktu-lah!” 


Nah loh? Jangan-jangan itu salah satu black campaign yang dirancang Mr. X untuk menjatuhkan kondite PO yang dianggap pesaing? Entahlah…


Satu dari empat spesies “Kebo” (julukan yang lumrah untuk Scania-nya Shantika) ini melanjutkan kiprah di belantika Pantura. “Sang Libero” pun meneruskan tongkat estafet kegarangan pendahulunya. Bus dengan transmisi 9 speed ini melaju lugas, tandas, trengginas dan mengganas. Always, on fire. Sayang, aku lupa mengorek siapa dua penggawa di belakang layar kaca ini.


Tak butuh lama, gocekan gesitnya menjungkalkan  Dedy Jaya yang memanggul bodi Columbus, Sinar Jaya New Celcius, PO Handoyo bergambar Macan dengan kaca dual mode. Menyusul kemudian disungkurkannya pusingan ban duet Dedy Jaya, yang dua-duanya berdandan ala New Travego, masing-masing dibangun oleh New Armada dan Tri Sakti.


Gumarang Jaya dengan “theatre glass”nya disikut dan belum puas juga, di daerah Larangan, Losari mencundangi tiga sekaligus chasis Hino AK8 “fresh from oven” yang hendak dikirim ke karoseri wetan.


Mengantongi berita terjadi kekusutan lalu lintas di daerah Tegalgubug, bus penghubung Kalideres-Jembatan Dua-Rawamangun-Jepara ini ingkar dari pakem, menyingkat tempo dengan melakukan napak tilas “jalur sutra” Deandels. Dipilihlah special stage Losarang-Cirebon via Karangampel.


Usai membayar retribusi di Terminal Sindang, Indramayu, hujan pun turun, menuntaskan dahaga para penghuni bumi yang sekian bulan hanya bisa menengadah, menanti kemurahan langit untuk menyiramkan tetes-tetes air kehidupan.


Menyusuri jalan gelap, sunyi lagi mencekam, serta tanpa kawan sejenis seiring selintasan, mengurangi serunya permainan bagus yang diumbar. Tak ada elu, tak rame..


Pesona seribu pijar cahaya lampu dari kilang minyak Balongan yang bagaikan gemerlap kehidupan malam kota metropolis, tak mampu membelalakkan mataku untuk terus on. Bulir-bulir rinai yang menganak sungai di dinding kaca, seolah mewartakan bahwa udara di luar begitu dingin beku,  berbalikan dengan “wisma satu malam” ini yang menawarkan kehangatan, kedamaian serta kesyahduan suasana.


Aku pun meringkuk dalam peraduan (lagi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar