Senin, 11 Februari 2013

Sssttt…Tarif Kencan “Dara” Cuma 130 Ribu Semalam. Mau!? (Eps. I)

Preambule I 


 “Pak, ini tanda terimanya. Saya usahakan perbaikan mobil Bapak cepat selesai. Mudah-mudahan Sabtu ini bisa Bapak ambil”.


Demikian janji dari sebuah workshop body repair di bilangan Mlati Lor, Kudus, memungkasi proses klaim kendaraan yang kuajukan pada Senin siang, hari kesembilan di bulan empat.


Dan sesuai prediksiku semula, “mediasi perkara tripartit” antara nasabah, pihak asuransi serta bengkel rekanan begitu simpel, gampang dan tak bertele-tele. Tak sampai satu jam, prosedur yang kata orang ribet bin nyusahin itu paripurna.


Jam 12.15, aku pun sudah mematung di seberang terminal kebanggaan kota kretek. Tak ada niatan untuk pulang ke Rembang --tempat domisiliku-- sebelum balik ke Jakarta hari itu juga.


“Buang-buang waktu dan duit saja,” pikirku.


Aku telah berbulat tekad dan tentu saja, sebelumnya mengiba sign acc pada sang belahan jiwa, bahwa aku akan bablas ngulon pascaurusan asuransi itu kelar. Dan inilah misiku, mencetak peta baru menembus  pekatnya malam menuju ibukota.


Teetttt…teettt…nggrrengg…ngrrengg…


Dari arah perempatan Tanjung, sekelebat sebuah bus dalam keadaan “terbang rendah” bergerak mendekat. Kulambaikan tangan, sebagai isyarat bahwa aku butuh jasa angkutnya. Sayang, driver kurang jeli melihatku dan telat mengerem tunggangannya. Alhasil, dia berhenti agak jauh dari posisiku berdiri dan membuatku tergopoh-gopoh mengejarnya. Belum sempurna jari ini menggenggam erat handle pintu belakang, pedal gas langsung diinjak dalam-dalam. Aku pun terhuyung-huyung menaiki tangga berundak dan hampir tersungkur mencari tempat duduk.


“Alamak, apa sih ini maksudnya, serasa dikejar-kejar setan?” batinku.


Tak lama kemudian, di tikungan lampu merah Jati, armada dengan ciri “dwi warna – merah putih” itu meng-KO lawan entengnya yang tengah bermalas-malasan. CN-040 Maskapai Nusantara dengan livery siluet burung elang dijinakkan sebab dituding menghambat laju derasnya.


Selepas jembatan Tanggulangin, bus dengan registrasi L 7015 UY itu kian lari lintang pukang. Berondongan klakson pun diobral mengatrol derajat kebisingan di dalam kabin hingga di atas 80 desibel, menenggelamkan suara syahdu biduanita OM Monata yang disemburkan perangkat audio. Erangan moncong muffler yang telah robek dinding salurannya semakin memekakkan telinga, seakan jadi senjata pemusnah massal bagi para perintang.


Nggrrenngg…nggrrengg…


Sekonyong-konyong dari sisi kanan muncul rival sejalur, Sinar Mandiri Mulia (SMM) berbodi Nucleus 3. Pantura Grand Prix pun tersuguhkan antarkontestan liga Terboyo-Bungurasih Cup. Dalam rabaanku, tanding kecepatan nyaris mencium skala 100 km/ jam.


Oh ini rupanya, biang keladi yang membuat busku tergesa-gesa memusingkan roda?


Salah satu penggawa Kerajaan Restu hampir saja kuasa menyalip, tinggal menyisakan ¼ panjang bodi dan mulai menyalakan sein kiri untuk merampas jalan. Tapi, Prestige bikinan Tri Sakti tak mau mengalah dan bertindak curang ketika berusaha menyangkutkan moda N 7584 UG pada pantat truk gandeng yang bergeming di lajur kanan.


Dia pun kandas meng-overtake, dan kembali mengekor di belakang. Dengan lincah dan gesit, PO yang memiliki asma agung “Indonesia” meninggalkan seteru abadinya itu.


Laku urakan dan goyang zig-zig sampai membahayakan truk tronton bernomor polisi W 8665 UB. Terlibatlah cekcok mulut antar keduanya, saat pengemudi truk bertindak emosional, lalu menyejajarinya dan sengaja menipiskan gap tubuh antar dua kendaraan besar.


Wow…layaknya film koboi jalanan.


Apa yang aku takutkan sirna. Momok macet parah ekses peninggian badan jalan di daerah Trengguli tak jadi menyergap. Lalu lintas yang mengarah ke barat bergerak lancar, berbanding 180 derajat dengan jalur ke ke timur yang ketersendatannya telah mencapai 3 km.  Bus bumel PO Harum dan medium bus Shamita Semarang-Jepara sukses meninggalkan antrian dengan trik menjajah area berlawanan. Talenta, karakter serta nyali yang demikian seakan jadi prasyarat mutlak andai mereka naik grade jadi pramudi bus malam Muria-an.


Di lingkar kota wali, Jetbus HD “ijo pupus” PO Subur Jaya menghadapi kenyataan pahit, disembur emisi hitam HinoAK. Di lain soal, jurang posisi dengan Sinar Mandiri melebar, tak tampak lagi “obyek yang dibenci” itu nongol di sudut kaca spion.


Tensi dan determinasi pun dikendorkan, saat tapak roda menggesek aspal di seputaran Sayung. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum berkode 44.50103, selanjutnya disinggahi bus yang hanya diminati belasan penumpang, menuntaskan dahaga akan segarnya minuman berenergi. Sebanyak 100 liter cairan bercetan number 48 ditenggak mulut tangki solar, sebagai cadangan bahan bakar untuk return to base nanti sore. Tiga menit kemudian, SMM 84, julukan bebuyutannya itu, sukses menyuksesi pole positionnya, menjadikan aksi nyepeed sepanjang 40 km jadi percuma.


Tapi, catatan waktu yang dilahap bus berkewarganegaraan Kalianak dalam menuntaskan etape Jati-Terboyo, bagiku cukup menjulang. Timer di gadget selularku mencatat 51 menit, minus 5 menit untuk pengisian BBM, yang jika dikalkulasi akan memampangkan data speed average  di atas 65 kph.


IMG00168-20120409-1226


Ngebut mode : on, bukan?


----


“Sukun bisa, Pak?” teriakku pada kenek PO Royal Safari, yang tengah bersiap meninggalkan akses keluar Terminal Terboyo.


Dibukanya pintu depan, dan aku memilih bangku di belakang ruang kemudi yang kosong.


IMG00170-20120409-1321


“Wah…konfigurasi seat 2-2 kapasitas 47 orang minus pendingin udara,” simpulku saat kutelisik daleman bus berkaroseri Laksana itu. “Bolehlah disebut kelas Bisnis Non AC Yunior.” Hehe…


Yup, Sukun. Sukun adalah destinasiku.


Sukun yang dipangku Kecamatan Banyumanik, Semarang Kota adalah tujuan awal sekaligus titik keberangkatanku meladang kembali ke bumi Si Pitung. Lapangnya kesempatan, unlimited budget untuk “weekly wira-wiri” serta rasa penasaran merasai taste bus Solo-an jadi pemicu serta pemacu mengapa aku benar-benar fight untuk pertaruhanku kali ini.


Awalnya, bus ber-STNK H 1586 BC beringsut perlahan sembari mengais penumpang, di belakang Ramayana model Clurit, Jogja-Semarang. Terlihat truk yang memanggul bongkahan kayu, muatannya miring ke kanan dan hendak tumpah, tak mampu meredam imbas gaya sentrifugal dari tikungan tajam sebelum masuk jalan bebas hambatan.


Belum satu kilometer melahap tol yang dikelola PT Jasa Marga itu, daya gedor Mercy OH 6 speed nampak, kala meninggalkan Adi Mulia “New Bento” Bandung-Kudus. Prestasi positif kembali ditorehkan, sesaat setelah membayar karcis senilai Rp2.500,00 di gerbang Muktiharjo. Dua bus wisata asal Bumi Pesantenan, PO Budi Jaya, masing-masing K 1593 GA dan K 1698 GA, disalipnya.


Mendaki tanjakan Jatingaleh,  bus yang piranti pencatat rpm mesin dan kecepatannya blank out itu tampak kepayahan, dan mesti geal-geol kanan kiri agar tak kehilangan torsi, sebelum akhirnya dilangkahi microbus Sumber Alam AA 1647 DC.


Namun, selepas gate Tembalang,  Hino Dutro long chasis dengan baju jahitan Adi Putro meradang, didului kembali oleh bus yang nge-rit Semarang-Solo tiga atau empat kali dalam sehari itu.


Finally, pukul 14.10, aku pun mendarat di pertigaan Sukun, yang kini berubah fungsi menjadi terminal bayangan bagi bus-bus jurusan Jogja, Solo serta Purwokerto, sejak diberlakukannya larangan bus AKDP/ AKAP menusuk jantung kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar