Senin, 11 Februari 2013

Budi Yang Tak Beranjak Gede (1)

“Sudah isi berapa, Mbak?” tanyaku pada dara penjaja tiket PO Budi Jaya.


“Baru sepertiga, Mas.” jawabnya dengan getir, seolah melukiskan pekan ini adalah fase ‘paceklik’ penumpang.


Untuk kali kedua, aku menyandarkan ritual go east di pundak flight akhir embarkasi Pulogadung. Meski minggu sebelumnya pertaruhan perdanaku kurang berbuah manis di ujung laras Meriam Lasem, namun tak ada alasan untuk kapok menggali di mana keberadaan ‘zona nyaman’ nyapu jagat bus-bus Muria-an.


Di senja itu, tak banyak pilihan menarik sebaik Budi Jaya.


Terus terang, kepincutnya hati ini lantaran dibius oleh nilai jual sebiji mesin Hino generasi RG1-JS yang bertengger di balik ‘cangkang setra’ garapan punggawa Morodadi Prima.


IMG00246-20120427-2112


Masih lekat di dinding ingatan, ketika kenal pertama dengan ‘geng Margorejo’, aku disandingkan dengan ‘Budi Kecil’, julukan armada XBC-1518 bervolume 4.249 cc. Setidaknya, kini Si Budi bertambah ‘gede’, seiring meningkatnya kapasitas mesin menjadi 7.961 cc.


Bandingkan dengan pesaingnya yang sekadar ‘low end’, Sido Rukun dan Selamet. Dua bus yang masih setia menggandeng keuzuran OH Prima-King dan sama-sama mengusung bodi yang sudah selayaknya di-renewal.


Jelas Budi Jaya di atas angin, menang segala-galanya.


“Tolong, saya dicarikan kursi sebelah kiri mepet kaca ya, Mbak.” pintaku merintis deal transaksi dengan wanita berkulit putih bersih itu.


18.20


Sebabak pertandingan bola, K 1678 FA berwarna kuning gading lalu dilepas dari ‘tali tambatnya’. Beruntung bin hoki. Lepas magrib, tingkat hunian kursi langsung melejit di atas 80%, dipantik banyaknya go show-ers yang menunggu bubaran kerja untuk memulai start perjalanan pulang ngampung.


Di pintu keluar, dengan secarik selendang jahitan New Armada yang menjuntai di tubuh, Selamet terkesan merana. Hanya barisan seat depan saja yang sejauh ini mampu dikaryakan. Entah berapa lama lagi akan kick off, sementara ‘peluit panjang’ selesainya jam ngetem tinggal hitungan menit.


Di sepanjang penggal jalan antara Pulogadung-Cakung, kusaksikan tiga bus dengan kondisi yang nyaris sama, masih berkutat dengan minimnya sewa. Masing-masing Teguh Jaya berkaroseri Galaxy Coach, Era Trans jurusan Blora-Cepu serta Harta Sanjaya dengan headlamp Marcopolo.


Itulah seni perang anggota jamaah al-sapu jagat-iyah. Bagaimana pressure setoran begitu menghimpit, berpacu dengan count down waktu yang kian larut - penanda semakin menyusutnya target incaran -; mau tak mau teknik tingkat tinggi dalam menjerat korban kudu dikuasai, sekaligus gape dalam bernegosiasi harga. Padahal kontestan lain juga  tak kalah gertak dalam membikin gaduh persaingan.


Pos kontrol Cakung kembali jadi pendongkrak pendapatan. Beberapa penumpang naik tahta, dan dua di antaranya adalah sejoli yang sepertinya sedang dimabuk cinta. Dwi-gender itu mendapatkan jatah  tempat duduk di deret nomor dua dari belakang, tak jauh dari ‘poskoku’.


Aku tak menggugat kemesraan yang diumbar, toh bagiku itu urusan nafsi-nafsi. Tapi yang membuat jengah, sepasang insan beda jenis itu rasanya ngga matching. Yang satu bapak-bapak setengah baya, sedang kekasihnya boleh dibilang masih ranum.


Apa laki-laki tersebut seorang vegetarian, suka sama lalapan daun muda? Mbuh ah, apa peduliku…Hehe.


Dari 40 lapak yang dijual, kini hanya satu yang bersatus unsellable. Dan kebetulan, kursi tak bertuan itu tertanam di sampingku.


18.55 


Style driving yang sebelumnya tenggelam oleh lautan de-urbanisasi warga pinggiran yang membanjiri jalan Bekasi Raya, lambat laun diperagakan  di atas panggung Jakarta Outer Ring Road (JORR).


Begitu prospek, kompetitif dan menjanjikan.


Demikian hasil assessment-ku menilai performa driver pinggir saat melahap karpet hitam penghubung Cilincing-Cikunir. Selaras dengan profil dan jiwanya yang dialiri darah muda, agresifitas seketika meluap-luap.


AKAP terbaik untuk kelas ekonomi versi Kemenhub, Daya Melati Indah (DMI) 1 ZX, saudara tuanya, New Travego 55 VX serta serikatnya, Proteus 20 D milik SJ Langgeng Utama tak ubahnya hanya ‘teh tawar’,  minuman pembuka sebelum menyantap kudapan berat.


Menyisir hulu Tol Jakarta-Cikampek, semakin superior daya 242.4 PS yang disemburkan dapur pacu berpenggerak enam silinder. Raya 18 jadi ‘hidangan pertama’ yang dilumat, disusul kemudian Sinar jaya 14 ZX serta kompatriotnya, 29 S.


Rasa lapar yang belum hilang dieliminir dengan memangsa Rosalia Indah Legacy Sky 360, Pemadu Moda Damri 4674 Bandara-Kayuringin, plus Sinar Jaya B 7248 VB berbasis kostum Concerto.


Belum kenyang juga, bus karyawan Parahyangan BHB 45, PPD 17 Bekasi-Dukuh Atas, gerombolan Laskar Pelangi - Sinar Jaya B 7912 IS, Setra 85 DX, Panorama DX 20 S -, serta Si Merah Agra Mas 5072 jadi penyempurna jamuan gala dinner yang disajikan meja bebas hambatan.


“Assololey…mantap!” batinku bersorak kegirangan, sesaat sebelum palang pintu gerbang Cikarang Utama dikerek turun.


Namun… puluhan detik kemudian dunia terasa berubah drastis.


Saat mencoba ‘adu speed’ dengan Rosalia Indah OM 906LA, busku ‘hilang keseimbangan’. Semakin dipacu, jalannya terasa timpang, kabin mulai gemetaran dan seringkali ndeprok ke sisi kanan.


Di km 35+400, ‘supervan’ jurusan Pulogadung-Tayu ini dipaksa minggir oleh keadaan, untuk memastikan persoalan yang terjadi.


“Ban kanan dalam kempes…”  kesah kenek kepada sopir, dengan ekspresi tak bergairah.


Sepertinya itu bukan problematika serius, menilik kenyataan bus dihela lagi. Tapi situasi memburuk, ketika kecepatan putar keenam roda menukik tajam. Sederet bus yang belum lama diasapi sekarang memutarbalikkan skor.


Rest area km 39 jadi singgahan sementara, dan orientasi utamanya adalah minta bantuan tukang ban yang membuka tempat usaha di dalamnya. Jasa isi angin lah yang dibutuhkan untuk menangani ‘trouble’ pada salah satu kaki.


Lima menit setelahnya…


“Sudah, nanti di sana saja,,” seru asisten, mengajak juru kemudi untuk kembali berjalan.


Barangkali, aku dan seluruh penumpang tidak ngeh dengan kendala yang sesungguhnya terjadi. Namun, saat mengaspal di ruas tol, barulah kami merasa was-was, cemas sekaligus penasaran dan bertanya-tanya, ada apa gerangan.


Permasalahan rupanya belum teratasi. Bus kelahiran tahun 1997 itu kian memble, tak ada larinya sama sekali, selalu memagari diri di lajur satu.


82 J, Nusantara HS-220, Gunung Mulia Panorama DX, Setia Negara ‘Pistis’, Sinar Jaya jurusan Margonda serta teman sebarak, 14 ZX, seakan bilang “EGP, Emang Gue Pikirin…” dengan kesusahan yang menimpa ‘Budi gede’.


Giliran berikutnya, Luragung Jaya ‘Rama Jennet’, tiga Prima Jasa beda trayek, masing-masing Bekasi-Garut, Kalideres-Bandung, serta Bekasi-Bandung, Shantika Biru, Dewi Sri berbusana Equator, Sinar Jaya Comfort serta Muji Jaya MD-88 menjerembabkannya di dalam kubangan ketidakmenentuan.


Belum lagi lusinan truk, -- yang andai aku seorang truk mania, pasti akan aku catat identifikasinya satu per satu – menyemprotkan kepulan residu hitam untuk dihirup armada seharga ‘seratus ribu’ ini.


20.40


Dipilihlah exit km 46 sebagai jalur penyelamat, ketimbang malu jadi pecundang di sirkuit sepanjang 72 km. Diparkirnya bus di depan ‘kawasan industri’ tambal ban, yang berderet selepas gate out Karawang Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar