Senin, 11 Februari 2013

S (c) A N (i a) J A Y A (2)

Masih…Hari Ke- 29, Bulan Ke-9


“Kepada penumpang Shantika jurusan Kudus-Jepara, diharapkan menempati tempat duduknya, karena bus siap diberangkatkan!”


Announcement dari corong speaker itulah yang memenggal obrolan tripartit dengan Mas Mulyani serta Mas Adhie Baguer, yang tak sengaja berjumpa usai aku melunasi kewajiban ibadah. Member BMC tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana. Hehe...


Dengan tertib, beberapa sewa melenggang masuk ke dalam perut Raja Kalajengking, dan aku pun luruh di dalamnya. Kurebahkan letih pada sandaran jok garapan PT Rimba Kencana. Kuselonjorkan kaki bertumpu atap toilet tengah, bukan lagi pada landasan legrest. Wah...PW tenan. Tapi tak sopan ah!


Menyesal rasanya aku telat menggilir bus ber-cc gigantik ini, sehingga kesan wah dan ekslusif mulai layu seiring ribuan penumpang yang telah diangkutnya memangkas orisinalitas armada yang diukir pengrajin Tentrem. Geladak kabin yang bermandikan sinaran lampu LED tak lagi keunggulan estetika yang layak ditakjubi. Bukan lagi nilai kemewahan lantaran body builder lain telah mengadopsinya.


Dari balik kaca depan, kusaksikan satu persatu teman-teman setrayek beringsut, meninggalkan bekas tapak ban di pelataran terminal. Kemudian dibuntuti “Legiun Mangkunegaran”, Gunung Mulia dan Safari. Selain busku, hanya dua makhluk yang tersisa, yakni Sinar Jaya Celcius kelas ekonomi yang diperpalkan karena okupansi tak memenuhi target, serta  LE-236 line Bandung-Bukit Tinggi.


Detik demi detik tiada henti bergulir, tapi tak ada tanda-tanda  Shantika bernomor jersey 09 ini dilepas keberangkatannya. Derap kehidupan stanplat yang diampu Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur sayup-sayup menghilang, ditinggal pergi para visitor-nya.


Di menit 26 lepas dari angka 19, akhirnya kesabaran salah satu penumpang pecah, berubah wujud menjadi angkara murka. Didampratnya para “ABK” dan pengurus yang tengah berdiskusi di sekitar ruang kemudi, yang aku sendiri tidak tahu ada kesulitan apa sehingga mimik muka mereka terlihat serius.


“Eh, nunggu apa kalian ini?” gebraknya penuh geram. “Ngomongnya jam tujuh berangkat. Mana buktinya?”


“Maaf, Pak, ini ada penumpang belum datang, mohon pengertiannya,” pinta asisten sopir.


“Apa begini caranya, demi satu orang, seisi bus kalian korbankan? Ha!!!” sergahnya dengan nada meninggi.


Mereka semua membisu, dan sejurus kemudian…


“Sebenarnya bisa saja kita tinggal Pak, tapi kita ngga enak, dia sudah bayar,” sahut karyawan bagian ticketing.


“Eh, kalian jangan membantah dan macam-macam ya! Saya ini tentara, ngerti!!!” bungkam pria paruh baya tersebut, seolah masa bodoh dengan akar kecarut-marutan yang terjadi.


Duh Gusti…



Aku tak men-judge bahwa lontaran protes yang ditujukan frontal kepada kru atas buruknya pelayanan yang dirasai itu keliru. Itu hak penumpang, yang telah teken kontrak dengan membarter sekian rupiah miliknya untuk menyetujui term of condition yang akan memayungi legalitas mereka sepanjang perjalanan.



Tapi, alangkah indahnya bila nota keberatan tersebut disampaikan dengan bahasa yang santun, tindak tanduk nan elegan serta cara yang lebih nguwongke. Toh sopir, kenek, personel agen adalah orang kecil, bukan pengambil keputusan atas permasalahan yang terjadi. Tak sepatutnya caci maki dan umpatan dialamatkan kepada mereka.



Namun sangat disayangkan, di tengah amarah akibat kekecewaan, ada yang menggadaikan kegagahan profesi serta jabatan yang disandang untuk mengerdilkan pihak yang dituding bersalah. Bukankah itu sekedar properti duniawi, titipan Sang Pencipta untuk senantiasa dijaga amanah-Nya? Gampang saja bagi-Nya untuk mencabut kemudian menistakan kita di hadapan manusia.



Ah, bangsa ini memang sedang didera krisis tata krama serta tuna budi pekerti.



Entah karena teror penumpang, ataukah “manajemen kecil” telah mengetok palu untuk tak mengindahkan si pengacau jadwal, tak lama berselang, Griffin dari Dataran Skandinavia ini menggunting pita start. Angan-anganku untuk menikmati “derby Muria” pupus, muskil rasanya mengejar ketertinggalan 30 menit dari rival-rivalnya. Dapur pacu berkapasitas 12 liter tetap keteteran menembus kepadatan jalan, demi memangkas jarak dengan kloter di depannya. Dan aku setengah yakin, andai para driver nanti sungguh-sungguh memaksimalkan daya gedor hulu ledaknya, tak bakalan lagi ketemu lawan sebanding bersamaan dengan menghilangnya jamnya Kudus-an.



Saat hendak menjilati aspal fly over Wiyoto Wiyono, pun dihadiahi kemacetan panjang. Gara-garanya, menjelang gate in Pedati, bus kota P.57 Blok M-Pulogadung mogok, mencaplok satu lajur dan berandil atas merayapnya lalu lintas usai bubaran kerja di sekitar kawasan Prumpung.



“Sehasta sisa” dari ruas layang Tanjung Priok-Cawang, disambung pangkal tol Jakarta-Cikampek, sedikit menyiksa greget bus yang malam itu hanya mampu mengkaryakan 23 seat-nya. Crowded-nya pengguna jalan, serta ketersendatan akibat pembongkaran gerbang Jatibening menahan nafsu kaki-kainya untuk lari lintang pukang. Seakan tak bangga kalau hanya pamer asap di muka Putra RemajaAB 7278 AK Jambi-Jogja-Solo di km 5.



Barulah lepas dari interchange Bekasi Timur, keluarlah top performance dari semburan tungku pembakaran tipe DC 12 04 Euro 3. Determinasi begitu meluap-meluap, high power menggenang di permukaan, enam batang silinder berkonfigurasi inline benar-benar diforsir kinerjanya oleh driver pinggir. Pengereman bukanlah orientasi utama di saat terhalang kendaraan. Namun diakali dengan aksi selinap sana selinap sini, zig zag, sesekali menyabet bahu jalan, menyibak hiruk pikuk jalan bebas hambatan warisan Bapak Pembangunan kita tercinta, HM Soeharto.



Tak ayal, bus-bus dengan speed medioker bertumbangan, nyaris tanpa perlawanan. Dewi Sri Jakarta-Pekalongan yang mengenakan kemben bikinan Equator, Prima Jasa kelas Ekonomi Bekasi-Garut, Gapuraning Rahayu Z 7765 TB jurusan Kalideres-Wangon serta Sinar Jaya 33G bukanlah oposan yang sepadan untuk men-tackling karir politik Scorpion King ber-STNK H 1511 CG ini.



Meski masih setia memajang keaslian nama lahir, moda darat yang kendalinya dikekang oleh Bangun Perkasa ini kian tak terbendung, di atas angin dan unggul segala-galanya dibanding bus-bus alumnus 1900 alias “angkatan waktu isya”.  Menang dalam kapasitas reaktor scania generasi 4, penyediaan cairan nutrisi yang melimpah ruah, kecakapan pramudi dalam me-menej output 360 tenaga kuda, sera gertak sambal dari anggota korps baju doreng menjadi perangkai cambuk yang sempurna bagi pengemudi untuk menghela armada secepat-cepatnya.



Budiman line Tangerang-Pangandaran,  bus “pelat merah” Damri kode 4421 penghubung koridor Bandara Soetta-Purwakarta, Dedy Jaya G 1410 CG, angkutan karyawan Restu RA-01, satu armada pariwisata yang berkandang di Bandung, Sumber Alam berjubah Nucleus 3, Menara Jaya Grosera Cengkareng-Pekalongan, laskar Priangan Gapuraning Rahayu  Z 7896 TB, Pakar Utama Selendang Setra D 7886 AF, Dewi Sri G 1417 GE, serta PO dari Tasik, Budiman Mercy Don King DS-041 Bekasi-Pangandaran adalah sederet mangsa yang tersandung akibat tuah “stiker nyeleneh” K380 IB Series yang menampang di lambung kanan-kiri.



Meminjam jargon “dua tetangga lima langkah dari rumah”, It’s Showtime and Wheel Crazy, sungguh-sungguh diperagakan di etape Cawang-Dawuan. Hegemoni, dominasi, agregasi adalah paduan tiga kata untuk melukiskan kedigdayaan Shantika dengan prefiks “New” ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar