Senin, 11 Februari 2013

Maafkanlah, Bila Ceritaku Suatu Dosa... (2)

Kurasakan bus menghantam sebuah benda yang merintangi jalan. Dalam hitungan sepersekian detik, di antara keremangan cahaya lampu kota samar kusaksikan seseorang “terbang”, terhempas dan akhirnya jatuh telungkup di rerumputan pinggir jalan. Saat kutoleh ke belakang, dia tampak diam, membujur kaku, tak bergerak sama sekali. Sedang motor bebek yang dikendarai terpelanting dan jatuh terguling berkali-kali sebelum terjerembab ke dalam selokan, efek dramatis akibat tersambar kendaraan besar.


“Masya Allah...ngeri!!!” batinku terhenyak setengah tak percaya bahwa perjalananku kali ini berakrab dengan bencana.


Cesss...cesss....cesss....                  


Pengereman terakhir dilakukan dan bus baru benar-benar berhenti kurang lebih 100 m jauhnya dari titik crash.


Seketika ruangan menjadi gaduh, wanita dan anak-anak menjerit histeris dan suasana menjadi riuh tak terkendali saat para penumpang kemudian berdiri dan saling bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.


Sementara itu dari balik kemudi...


“Gimana, Jo? Gimana itu orangnya?” tanya driver dengan gemetaran. Duduknya pun lunglai sambil memeluk lingkar setir, lemas tak kuat lagi menyangga tubuh.


(Jo : panggilan sopir kepada kenek - pen)


“Perhitunganku mati, Nyo. Keras sekali tertabraknya...” jawab asisten pengemudi itu sekenanya, seolah ia sendiri belum habis pikir mengapa busnya dirundung kenahasan. Dilongoknya kaca spion kiri di luar pintu, diamatinya setiap sudut frame, berharap kondisi korban bisa diintip lewat media pengintai itu.


“Ada apa?” tanya sopir kedua yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya, mengorek peristiwa apa yang barusan terjadi.


“Nghajar motor. Tewas sepertinya. Ngawur... ngawur…baru belajar naik motor tuh orangnya!” umpat Mas Kenek, yang dari nada bicaranya terkesan geregetan dengan ulah biker yang tak tahu etika itu.


“Sudah...sudah...kita turun. Ayo ditolong...” timpal sopir tengah itu seraya menuruni tangga dek kabin, dan hendak membuka pintu.


Tiba-tiba pria-pria berbadan besar yang duduk di barisan depan -- dan menurutku satu rombongan -- , angkat bicara.


“Ah, ngapain ditolong segala,” sergah satu di antara mereka. “Dia tuh yang beloon, nyaris mencelakai seisi bus. Biar dirasakan sendiri akibatnya.”


“Benar…benar…percuma!” lirih bisik-bisik antarpenumpang menggumam.


“Tapi...apa tidak kasihan, siapa tahu nyawanya masih bisa diselamatkan,” protes pria paruh baya yang berdiri di tengah, dengan bijak.


“Iya...iya....benar juga. Biar bagaimanapun, dia juga berhak ditolong!” serentak diamini sebagian yang lain.


“Maaf Pak, Bu, Saudara-Saudara. Saya tahu persis kejadiannya,” ujarnya meredam polemik antara hitam dan putih. “Dia tuh motong jalan kita. Motornya tanpa lampu, ngga pake helm, knalpotnya bikin budek. Sudah gitu ngebut, ngga tengok kanan kiri waktu putar arah, mau menyeberang. Kalau bukan karena pengaruh minuman, lagi  mabuk, orang waras mana yang senekat itu?”


Semuanya terpekur menyimak keterangannya.


“Apa pantas orang seperti itu ditolong? Dia tuh cari mati dan memang pantas untuk mati...” simpulnya tak kalah geram, layaknya orator ulung membius audience-nya.


Suasana masih terdiam membisu, berkalang kebimbangan.


“Sudah Pak Sopir, jalan lagi. Kasihan penumpangmu nanti terlantar di jalan kalau ini jadi urusan polisi. Mereka ingin cepat sampai tujuan, mereka punya kepentingan masing-masing. Apalagi nasib kamu. Masuk penjara, diskors kantor, berminggu-minggu ngga kerja. Makan apa anak istrimu? Belum lagi kena uang perkara. Habis banyak kamu nanti...” ceramah kawan satunya lagi dengan mimik innocent serta enteng, meski ia sendiri juga tidak menjelaskan andai ada apa-apa di belakang nanti, siapa yang akan pasang badan, jadi penanggung jawab.


Aku pun hanya bergeming terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Aku jauh belia dibanding mereka, jadi apa kuasaku. Di satu sisi aku merasa iba dan sudah semestinya membantu korban, tapi di sisi lain juga muak dengan ulah anak-anak muda yang gemar mabuk-mabukkan dan trek-trekan motor di tengah malam. Seringkali dalam trip pulang mingguanku, jalan lingkar Kota Demak dan Kudus disulap jadi sirkuit dadakan, ajang adu nyali dan unjuk gejolak adrenalin.


Aku juga tidak tahu, siapa “sosok misterius” pria-pria berpostur tegap dan kekar itu, sehingga tak gentar membuat keputusan berani dan bertentangan dengan norma-norma humanisme yang begitu diagungkan umat manusia.


“Cepat jalan, keburu nanti ada memergoki. Jangan sampai banyak orang ini disengsarakan satu orang tolol itu. Tinggalin saja...” perintah temannya yang lain dengan tegas, memungkasi konflik batin di dada para penumpang dan kru.


Meski sempat canggung dan speechless, dengan tergesa-gesa, Pak Sopir pun mulai menjalankan busnya kembali.


Entah pikiran apa yang sedang berkecamuk di benaknya, sehingga menuruti intruksi yang jelas-jelas melabrak pranata sosial.


Rasa berdosakah?


Sedang menyusun alibi kah?


Atau merasa “beruntung”, luput dari jaring hukum?


Jangan-jangan dia dilingkupi kekhawatiran akan “karma” di masa depan?


Ataukah berbahagia, lantaran nanti masih bisa bertemu anak istri, bukan membuat mereka bersedih mendengar kabar suami atau bapaknya meringkuk di balik jeruji?


Mbuh ah...


Nyatanya, forum perdebatan pelik itu berdurasi sangat singkat. Cukup satu menit untuk membuat keruh kejernihan logika kami dan ujung-ujungnya semuanya “mau” menerima kata mufakat untuk meninggalkan korban. Kami jadi pelakon aksi tabrak lari, hit and run, sebuah perbuatan yang merendahkan harkat dan harga diri manusia lain.


Dan anehnya, perilaku barbar dan mungkar kami berlangsung sukses, aman serta tak terpindai oleh mata yang lain. Latar situasi begitu mendukung. Tak satupun kendaraan yang melintas, tiada orang yang berlalu lalang, pasca terjadinya kecelakaan di pagi buta tersebut.


Bus yang disemati julukan Mercy Intercooler itu semakin menjauh meninggalkan tempat kejadian perkara. Selamatlah kami semua, khususnya awak kabin dari peradilan dunia. Meski nurani kami juga terus-menerus memberontak atas perilaku konyol dan anti kemanusiaan, terutama kenaifan kami dalam meniadakan wilayah Ilahiyah, bahwa Gusti Allah mboten sare. Dia lah Maha Segala Penyaksi...


Aku tak menyalahkan Pak Sopir, Bapak-Bapak yang memprovokasi agar urung menolong si korban, atau semuanya yang terlibat tak langsung dalam musibah ini. Andai kami bisa men-somasi si pengendara motor, justru kami lah yang akan menuntut kesialan ini. Gara-gara kecerobohan serta keteledorannya, pihak bus yang akhirnya terancam jadi pesakitan di hadapan ketok palu vonis hakim.


Ah...sejatinya yang patut disalahkan atas semua ini  adalah “pengaretan pasal-pasal” yang termaktub dalam kitab undang-undang lalu lintas dan jalan raya yang dianut republik ini.


Selama penyelesaian hukum atas kasus kecelakaan masih menempatkan si kecil sebagai pihak yang selalu terbela, senantiasa dimenangkan gugatannya tanpa proses penyidikan yang jujur, transparan dan sesuai fakta sebenarnya di lapangan -- dengan dalih terlalu rumit, bertele-tele dan kesulitan menghadirkan saksi --, dengan alasan kepraktisan, si besar selalu jadi “tumbal pemerasan”  dan menanggung kerugian terbanyak hingga lahir idiom “yang besar yang bayar”, jangan harap aturan itu akan tegak setegak-tegaknya.


Yang ada justru malah sebaliknya. Berita pelecehan terhadap moralitas dan adab budi pekerti di jalan raya masih acapkali terdengar. Praktik pen-Tuhan-an terhadap kaidah rimba belantara --yang besar yang lebih berdaulat -- di atas mimbar permadani hitam diam-diam digaungkan, imbas dari melempemnya penerapan asas ketaatan hukum.


Selama ada niat dan kesempatan pelaku untuk melarikan diri, itulah cara instan yang ditempuh untuk membebaskan diri dari jerat kerunyaman penanganan kasus kecelakaan lalu lintas. Non-sense bagi si pengecut itu, meski dia kelak dicap sebagai “musuh kemanusiaan”.


Miris…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar