Senin, 11 Februari 2013

Maafkanlah, Bila Ceritaku Suatu Dosa... (1)

Aku lupa kapan persisnya peristiwa itu terjadi. Namun rekaman alur kisah tragis itu masih betah bersemayam di sela-sela lipatan otakku.


***


“Bakar!!! Bakar!!! Bakar saja lembar catatan itu!” bisiknya agitatif. “Kalau kau masih was-was, satukan abunya, kemas ke dalam peti mati dan kunci rapat-rapat. Lalu tenggelamkan ke dasar lautan yang terdalam. Yakinlah, yang demikian bisa meluruhlenyapkan bercak hitam itu agar tak lagi mengotori dinding ingatanmu.”


Hasutan setan sungguh-sungguh memburamkan keberadaban dan nalar sehatku sebagai makhluk berakal, tak lama setelah babak pilu di atas panggung jalan raya teradegankan, kira-kira lima tahun silam.


Barangkali, bukan aku sendiri yang memiliki “rencana tak senonoh” seperti itu. Ada dua puluhan orang yang duduk dalam satu bus bersamaku. Bisa jadi, mereka punya pemikiran yang sama dan sepaham untuk memberedel kasus itu selamanya.


Meski dengan kadar peran yang berbeda – sebutlah ada si pelaku utama, aktor figuran maupun hanya penyaksi -- namun kami secara sadar mengakui, semuanya punya andil atas terselenggaranya fragmen pencederaan nilai-nilai kemanusiaan.


We must keep this secret so tight,” demikianlah kesepakatan imajiner kami kala itu, untuk menyuci tangan dari pertanggungjawaban dunia atas tragedi keji dan amoral.


Bukan maksudku membelot dari konsensus busuk dengan membeberkan rahasia yang mesti dijaga berjamaah. Seiring melenggangnya waktu, aku tetap tak sanggup menghapus aib kehidupan itu sepenuhnya. Ada kalanya, bayang-bayang kehinaan keinsanan kami menari-nari di depan pelupuk mata, mencoreng martabat kami sebagai hamba Tuhan yang berderajat paling tinggi.


“Aku dan mereka ternyata kerdil dan picik, tak punya nurani untuk berempati terhadap sesamanya...” sesalku kini.


Jujur, tak ada kemauan hati untuk mencari siapa yang patut disalahkan, siapa dalangnya, siapa provokatornya dan siapa pula yang menjadi korban, toh...kejadian itu sudah lama berlalu. Andai hendak dikuak, tak ada lagi barang bukti yang tersisa, raib serta musnah dipetieskan guliran masa.


Sebenarnya aku juga malu menjelenterehkan jiwa-jiwa pengecut yang bersembunyi di dada kami.  Namun seberkas harapan mencuat sebelum aku berbulat hati meniatkan diri membuka borok ini. Yakni, (semoga) ada pesan dan hikmah yang bisa digali, ditadaburi dan selanjutnya dihayati, khususnya demi kebaikan diri sendiri serta entitas pengguna jalan pada umumnya.


Demikianlah mukadimah yang mendasari gerak jari-jemariku untuk berbagi cerita sarat dosa dan yang pasti, akan menuai cibiran ini.


***


“Kalibanteng...Kalibanteng...yang turun harap bersiap-siap!” seru kenek santun, menciptakan sinyal alert bagi beberapa penumpang yang memegang tiket dengan tujuan Kota Atlas.


Bergegas dua atau tiga orang melantai, setelah gerak keenam roda dikunci cengkeraman lining brake bus bervarian OH-1521, tak jauh dari bundaran Kalibanteng. Sementara sebagian yang lain terusik dari peraduannya, tersengat oleh pijar lampu ruangan yang menusuk mata. Tak terkecuali juga aku, yang bersinggasana di baris keempat sisi jendela kiri.


“Wah, hampir setengah dua. Andaikan jalanan lancar, setidaknya pas azan subuh, aku bisa menginjak tanah kelahiranku kembali...” gumamku, saat kutatap display penanda waktu di pojok kiri kabin.


Ngreeeng....ngreeeng....ngreeeng...


Deru knalpot bersenandung riang, seirama ekspresi hatiku, memecah keheningan dinihari di belahan utara ibukota Jawa Tengah. Ditapakinya jalan arteri Pelabuhan Tanjung Mas, sebagai by pass penyingkat jarak untuk menembus kawasan Semarang timur. Dinaungi hamparan langit yang berselimutkan mendung tipis, lalu lintas benar-benar sepi, tak ubahnya walk alone di kota mati. Tak perlu tempo lama, kinerja dapur pacu OM-366 LA mumpuni untuk dikonversi oleh pedal akselerasi menuju kecepatan jelajah ideal bagi moda darat lintas propinsi.


Di rentang 80-100 km/ jam, itulah rabaanku berkaca pada siulan putaran turbo mesin dan simfoni hembusan angin yang terbelah oleh efek aerodinamis tubuh Setra Selendang garapan Adi Putro.


Baru saja para penumpang hendak merapatkan selimut, meneruskan pergumulan melawan hawa dingin yang dibangun perangkat air conditioned buatan Denso, sayup-sayup terdengar raungan muffler sepeda motor yang sedang ngebut, semakin lama semakin jelas mendekat ke arah bus. Penunggang roda dua yang berposisi berlawanan arah dengan armada kami itu kemudian mengurangi kecepatan, sambil membleyer-bleyer tuas gas, menghasilkan intonasi yang memekakkan telinga. Dari suaranya, aku bisa menebak, itu bukanlah knalpot standar, melainkan bobokan layaknya motor yang dipakai buat balapan liar.


Saat aku tengah berpikir tentang keberengsekan tengah malam  itu, tiba-tiba....


“Awas...awas, Nyo!!! Awas...!!! Motor itu mau muter!” pekik lantang Mas Kenek dengan terperanjat, terbata dan tergagap menghadapi “gelagat di luar dugaan” yang terjadi di depannya.


(Nyo : Panggilan kenek kepada sopir - pen)


Bersamaan itu pula,


Mati aku!? Goblok!!! Anak ini maunya apa?” maki Pak Sopir tak kalah tercengang dan kaget. Wajahnya seketika memucat dan gerak tubuhnya merefleksikan kepanikan, meski dia sendiri berikhtiar melawannya agar tetap tenang.


Cesss...cesss....cesss....


Dengan refleks dan spontanitas, sistem pneumatic brake diforsir bekerja rodi mengurangi laju kecepatan, meski imbasnya bus ajrut-ajrutan, terhuyung-huyung dan oleng kanan-kiri kebingungan saat melakukan perlambatan dibarengi aksi ngeles, seolah berupaya menghindari tabrakan frontal.


“Ya Allah!!! Allahu Akbar!!!...Allahu Akbar!” sontak sebagian besar penumpang terbangun dan langsung meratap pasrah, menyikapi situasi yang genting serta menegangkan.


Teettt....teettt....teettttttt....


Suara klakson menyalak panjang, namun terlambat, sebelum akhirnya...


Brakkk!!!! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar