Senin, 11 Februari 2013

Budi Yang Tak Beranjak Gede (3)

00.25 


Byar… 


Lampu penerang ruang interior dinyalakan. Katup kelopak mata yang telah lekat oleh buaian mimpi dipaksa  melek.


Sementara pramusaji-pramusaji yang penampilannya telah kuyu terlihat gugup, kelabakan serta tercengang. Di luar dugaan, ternyata masih ada satu bus lagi yang tercecer, minta dilayani di ‘luar jam buka’ restoran Taman Sari 2, Pamanukan.


Mereka pontang-panting menyiapkan segalanya, karena acara beres-beres dan bersih-bersih ruang makan sudah pungkasan.


Tak apalah, kami jadi penghabis sisa-sisa menu lungsuran tamu-tamu sebelumnya. Hehe…


Kurang lebih 35 menit masa yang dibutuhkan untuk melakukan pitstop. Rumah makan nyaris lengang, hanya dua bus Kurnia Jaya yang berbaring di pelataran belakang.


Baru sebentar mengawali pengembaraan, New Travego kembali tertahan oleh request tangki solar yang menggelepar kehausan. Disambanginya SPBU yang satu kompeks dengan Nusantara Resto, mereguk tetes-tetes cairan bahan bakar sebagai pemijar kehidupan bagi OM 904LA.


IMG00252-20120428-0040


Dari sisi berlawanan, gelombang pertama ‘armada timur’ berbondong-bondong mengarah ibukota. Agra Mas, Sari Giri ‘Al Amin’, Zentrum, Garuda Mas, serta Purwo Widodo, mencatatkan diri di buku absen.


Bus yang mengunggah livery fireball ini mengalun pelan setelahnya. Tak ada gereget untuk memperpendek waktu tempuh, berpegang prinsip alon-alon waton kelakon, sebagaimana yang dideskripsikan sosok pengemudi yang berumur sepuh untuk ukuran abdi jalanan.


Suspensi leaf spring yang mengayun keras rupanya tak mampu mengusik kecapaian yang mendera para sewa. Sebagian besar lelap dalam peraduan, dan hanya sedikit yang memposisikan diri jadi penikmat landscape Pantura.


01.40


Saat tengah melaju, tiba-tiba…


Tarrr…Duarrr…


Bunyi kaca pecah, diikuti ledakan keras mengguncang kabin.


Sontoloyo…apa yang diasakan tak terjadi, kini terjadi. Ban meletus!!!


Saking gondoknya, sampai-sampai aku berpikiran negatif. Sepertinya benar akan satu mitos, bahwa barang siapa berbuat tak senonoh atau mesum di dalam bus, kesialan akan terus mengakrabi. Kulirik deret belakang tempat dua anak manusia yang dilanda asmara itu sedang bersyik-asyik. Jangan-jangan….


Ah, mengapa aku berprasangka demikian? Kubuang jauh-jauh hasutan setan yang menjerumuskan.


“Wis, apes. Masak pecah ban sampai dua kali!” gerutu para penumpang yang terbangun karenanya.


Ibarat keledai, kini kami semua terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kali. Lantaran tak mau belajar dari pengalaman -- menyepelekan fungsi ban serep --, kami menghadapi bayang-bayang terlunta-lunta di jalan.


Budi kecil terhuyung-huyung, melambatkan tempo dan akhirnya mendamparkan jasad di depan ‘warung reparasi ban’, di pinggir jalan raya Losarang.


“Dasar g*bl*k…buang botol kok ke tengah jalan!” caci the man behind steering wheel dengan bersungut-sungut.


Menurut penuturannya, gara-gara keisengan orang mabuk yang melempar botol ke badan jalan, terlindaslah benda laknat tersebut sehingga mencabik-cabik tapak roda ban kiri luar.


Tukang ban hanya geleng kepala, menyerah saat dimintai tolong untuk menambal.


“Tidak bisa, Pak. Ini parah rusaknya. Sisi sampingnya robek.” ungkapnya angkat tangan.


“Kelanjutannya ini gimana, Pak?” kuberanikan untuk bertanya kepada Pak Sopir.


“Terpaksa kita menunggu bus dari timur, Mas. Ini busnya sudah sampai Arjawinangun. Sabar ya Mas, sebentar lagi juga sampai sini.” bebernya, mencoba meredakan keresahanku.


“Kenapa tadi ban serep diturunkan, Pak?” kukorek dalih apa yang bisa membenarkan tindakan kru pada kasus peminjaman ban serep.


“Biar bis satunya bisa balik ke Pulogadung, soalnya besok pagi-pagi mesti nyari penumpang,” kilah beliau. “Saya pikir, ban tubeless itu kan aman, Mas. Jarang masalah, ibarat kena paku pun juga masih bisa jalan.” sumbarnya sok yakin.


Benar-benar anggapan yang harus direkonstruksi. Hidup ‘menjilati’ permukaan jalan semestinya tak berpikir sesederhana itu. Kalau sudah kejadian begini, siapa yang rugi?


Berpuluh-puluh bus Jawa yang mengalir ke barat, jadi hiburan tersendiri bagiku. Apalagi bentang jalan di hadapanku adalah hamparan trek lurus memanjang, sehingga aksi saling sikut dan tempel berebut posisi sesama koloni ‘gerilyawan’, seringkali tersuguhkan.


02.17


Akhirnya datang juga…


Di seberang jalan, makhluk yang dinanti pun berhenti. Kembarannya, XBC-1518, ber-sticker printing “Event Lomba F-1” bergegas ‘membumikan’ ban serep ke tanah. Kru kedua bus saling bahu-membahu, menyingkat durasi troubleshooting agar tak berkepanjangan.


Kini, dua Budi bermain api, tanpa ada cadangan ban di masing-masing armada. Sebuah pilihan riskan di antara opsi-opsi terburuk.


Beruntung, ‘kenekku’ cukup cekatan, lincah dan lihai mengerjakan segalanya. Sekarang tinggal plek, ban baru sudah nangkring di atas 10 baut pengikatnya. Sejak diputuskan menunggu poolmate-nya, dia berinisiatif membongkar dan melepas ban merek Hankook AH-11 ring 22.5, yang dedel duel itu.


Yang membuatku berdecak kagum sekaligus tumbuh simpati, pria ramah itu ternyata penyandang cacat, (maaf) kakinya panjang sebelah, sehingga berjalan pun pincang. Namun, kekurangan itu tak jadi batu sandungan dan onak baginya untuk melakukan pekerjaan berat yang menuntut fisik dan kebugaran jasmani.


A little moral lesson; mengapa kita yang dianugerahi kelengkapan dan kesempurnaan anggota tubuh, justru menyia-nyiakannya dengan sikap bermalas-malasan dan mudah berkeluh kesah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar