Senin, 11 Februari 2013

Separuh Rinduku Pergi (1)

 

Entah berapa ‘lusin’ sudah raja kalajengking menetas di dalam sarang Karangturi, aku tak sanggup menerka angka pastinya. Dan entah senyawa warna-warni apa lagi yang bakal diguyur ke sekujur tubuh ‘jabang bayi’ barunya, aku juga tak punya daulat untuk mengira-ngira.


Adalah sebuah keniscayaan. Menyaksi gairah serta kebangkitan yang ditampakkan oleh ‘tetangga lima langkah dari rumah’, merekatkan serpihan-serpihan kerinduanku untuk mengacuhkanya kembali.  Sekian lama aku terkungkung dalam anggapan absurd, bahwa si dia kurang layak dijadikan penggedor pertahanan mesin absensi kantor yang jemawa terhadap nasib kaum buruh sepertiku ini.



Masih terpatri cerita tentang ‘gubuk gerita’ yang kulakoni dua tahun silam, seakan-akan membangun jeruji besi agar aku tak lagi-lagi memasuki ruangan kabin nan pengap serta sesak itu.


marcopolo-ts



Pun dalam rangka perjalanan pulang ngetan. Pendekar negeri litle Canton itu tak ubahnya liliput di antara gerombolan goliath yang berjuluk Pahala Kencana, Nusantara, Shantika ataupun Haryanto. Jurus-jurus yang dilayangkan belum mampu meluruhkan keengananku, kalah tangkas dengan sepak terjang jawara-jawara lokal yang lain.



Tapi, guliran masa merubah segalanya. Sebagai busmania, kudu kuberangus sikap antipati plus apriori terhadap satu PO. Babak-babak kehidupan tak ubahnya air laut, ada kalanya pasang, ada tahapan surut. Hal demikian berlaku pula dalam kelangsungan hayat suatu perusahaan otobus. Hari ini boleh terseok-seok, tapi, who knows, besok jadi kuda hitam nan mencemaskan pesaingnya.



Demikian celoteh alam pikiranku dalam menilai sosok sang jiran, Tri Sumber Urip, itu.



Tapi, kemudian timbul pertanyaan simpel. Kapan momen yang pas buat merasai sengat racun yang disuntikkan spesies Scorpion King, ngiras pantes (sekaligus) melepas kekangenanku padanya?


____



“Mas, sebenarnya sampeyan itu golongan orang yang menyia-nyiakan waktu,” kritik salah satu teman komuterku, pada suatu hari.



“Pulang ngantor jam setengah lima. Ngojek ke Pulogadung palingan butuh setengah jam. Kenapa ngga ngejar Kudus-an yang berangkat di atas jam lima? Misal nanti busnya habis Pati atau Kudus, kan tinggal nyambung. Setiap 10 menit sekali ada Surabaya-an.” imbuhnya berapi-api, tanpa kesan menggurui. “Daripada ke Rawamangun, eman-eman, buang-buang waktu dua jam-an, kan?”



“Syukur-syukur dapat ‘Tri’, langsung Rembang.” tandasnya lagi.



Wealah…pencerahan yang membikin melek keawamanku. Gumamku kala itu.



“Aku sering naik sapu jagat Kudus-an lo, Mas. Dan sepengalamanku, baru sekali disalip bus Rawamangun.” jaminnya bila suatu saat aku tunduk mengekor pada tradisi Jumat sore-nya.



Petromax dari sohib yang dipertemukan oleh ritual PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) menebalkan keyakinanku, bahwa sejatinya ada ceruk untuk bersua dengan Tri Sumber Urip lagi. Tinggal bagaimana aku meng-arrange waktu dan tentu saja, sepenuhnya menyandarkan keberuntungan di ketiak Dewi Fortuna, tanpa embel-embel Anwar itu.



April - Friday, 13th 



“Tumben belum pulang, Mas, biasanya jam segini sudah tak ketahuan rimbanya”, canda rekan sejawatku, melihat aku masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas, saat pendulum waktu membandul menuju ambang senja.



Hmm…mungkin keberadaanku dianggap “keajaiban dunia” bagi mereka yang mafhum akan bad habitku, yang acapkali ngabur sebelum lonceng going home berdentang.



Yup, memang sore ini aku memutuskan untuk jadi karyawan teladan, pulang ontime. Toh, aku ngga dikejar waktu, fajar menyingsing kudu menjejak lantai rumah nun jauh di sana. Ada satu urusan yang wajib dipungkasi, sehingga destinasi kali ini bukanlah tanah kelahiranku, melainkan kota pencetak orang kaya nomor wahid Indonesia, Kudus. Jadi, aku full nyante, tak diburu target apapun.



17.15.



Segera kuturun dari jok roda dua, di pojok pertigaan yang ‘mengawinkan’ akses keluar terminal dengan jalan Bekasi Raya. Kulangkahkah kaki terburu-buru, diliputi rasa was-was akan kehabisan seat, lantaran inilah percobaan pertama pulang malam dari Pulogadung .



Dalam peneroponganku, sapu jagat Muria-an itu ibarat ababil, makhluk yang berkelakuan sesuka hati, sakpenak udele dhewe, tak punya aturan, lepas kendali, tak mau mengikatkan diri pada jam keberangkatan yang tentu. Sangat tergantung mood mereka sendiri. Angot-angotan istilah betawi-nya.



Saat situasi pasar tengah normal, beramai-ramai menampakkan diri. Ketika peak season, seringkali menghilang, bertolak belakang pada saat musim paceklik. Kebanyakan malah dihinggapi virus GALAU alias Gelisah Antara Lanjut Atau Udahan (udahan diperpalin saja, maksudnya), sehingga bukan barang aneh bus diinapkan barang sehari dua hari. 



“Situationally dan uniquely,” simpulku.



Untuk reason itulah, aku mencoba melakukan mapping time to travel secermat mungkin.



Pekan ini, dalam meterologi khayalku adalah masa pancaroba, kering tidak - basah pun tidak. Mengingat sebelumnya adalah long weekend, sehingga periode Sabtu-Minggu ini sepertinya tak banyak perantau yang mengagendakan acara bepergian. Ditambah realita bahwa akhir bulan masih jauh, setidaknya dua minggu ke depan adalah durasi tanggal tua. Pastilah demand akan kebutuhan bangku penumpang ajek, tak ada lonjakan.



Tapi itu hitung-hitungan matematis, fakta di lapangan bisa saja meleset. Harap dimaklumi, bila bayang-bayang tiket sold out sore itu tetap menghantuiku.



Saat pandangan mengerucut ke arah gate out terminal, tercenganglah aku pada sebuah wujud bercorak kopi susu, yang akhir-akhir ini masuk dalam salah satu DPO-ku.


IMG00193-20120413-1731



Wow…’enam kaki binatang melata’ itu seolah melambai-lambai ke arahku, bahwa ‘perjodohan’ yang kuidam-idamkan segera akan jadi kenyataan.



Segera kudekati, dan cepat-cepat kupanjati tangga menuju singgasana, tak sabar rasanya untuk lekas-lekas berteduh di dalam istananya nan sejuk.


“Kudus kan, Mbak?” basa-basiku pada seorang ibu yang tengah men-tiket-i seorang penumpang.



“Iya, Mas. Masih banyak yang kosong…”, jawabnya dengan penuh suka cita lantaran tak usah susah-susah nyari sewa, ini malah calon bidikannya sendiri yang datang menghampiri.



Sekilas kupandangi shaf-shaf bangku yang dijejalkan di atas chasis made in Japan. Memang melompong, hanya segilintir yang mengisi barisan depan. Shahih, episode ‘gagal panen’ penumpang.



Ayo, ada angin apa pulang dari sini?” sapa seseorang sambil mencolek lenganku, mengusik transaksi yang tengah berlangsung.



“Lho, Pak, naik bus ini juga?” aku pun terperanjat dibuatnya.



“Iya, Mas.” jawabnya dengan senyum keramahan.



Dunia memang tak selebar daun kelor. Beliau yang dulu jadi penasihat agar aku berani menjajal bus-bus kloter terakhir Pulogadung, kini malah jadi ‘sekondan’ bagi pertaruhan perdanaku. Beruntung sekali aku ini.



“Mas, sepertinya bus ini habis Maghrib baru berangkat. Maaf ya Mas, sepi…” kesah ticketing girl berbadan tambun terdengar parau di telinga, - yang belakangan kutahu namanya adalah Ibu May - setelah selembar tiket seharga Rp90.000,00 berpindah tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar