Senin, 11 Februari 2013

Sssttt…Tarif Kencan “Dara” Cuma 130 Ribu Semalam. Mau!? (Eps. 2)

Preambule II


Kuedarkan pandangan ke sekeliling, mencari-cari keberadaan agen bus malam.


Lo, kok nihil?


Aduh!? Apa aku missinfo, saat ber-BBM-an dengan Mas Doni Prast belum lama ini. Cah Salatiga itu berujar, banyak biro jasa penjual tiket bus malam di Banyumanik. Jangan-jangan, yang dimaksud beliau adanya di terminal, bukan di pertigaan Sukun, sesuai persepsiku.


Dengan langkah pantang menyerah dibarengi elan ‘45, kuseberangi jalan, menyusuri trotoar di tengah siang nan terik dan menyegat. Siapa tahu, aku menemukan adanya kantor atau agen perwakilan salah satu PO di sana. Mall Carefour aku lewati, disambung pabrik jamu dengan trademark Jago dan kantor produsen mesin diesel asal Jepang, Kubota.


Ya Allah, ternyata jauh juga jarak antara Sukun hingga terminal. Barangkali hampir dua km-an ruang selanya. Aku pun bermandikan peluh, langkah kaki kian gontai dibebani isi tas backpacker, karena lambung belum disarati asupan makan siang.


Tapi semangat kembali menyala tatkala kujumpai sebuah bangunan mewah yang merupakan agen Rosalia Indah.


Inikah yang kucari?


“Oh, no…”  sergah nuraniku. “Itu bus pasaran, singkirkan dulu,” imbuhnya.


Stop…Bukannya aku memicingkan mata terhadap kedahsyatan Palur Epicentrum, meski aku sendiri belum sekalipun mencobanya. Probabilitas andai aku ingin mencumbui corak biru-merah-kuning-nya sangatlah besar lagi mudah, lantaran populasi armada yang bejibun serta jaringan agennya tersebar luas di seantero wilayah Jakarta.


Sreett…kucoret PO yang konon namanya memodifikasi jenis varian bunga, dalam daftar buruanku.


Jembatan penyebarangan pertama yang membujur di atas jalan raya Semarang-Bawen, kian terlihat jelas. Itulah ciri penanda, bahwa Terminal Banyumanik ada di “bawahnya”.


Kupijak terminal kecil yang jika panjang dikali lebar-nya mungkin hanya sekitar setengah hektar. Kuitari luasnya, serta kupandangi semarak plang nama-nama perusahaan otobus, yang menandakan inilah salah satu kawasan surga bagi busmania dalam hunting benda incarannya.


Puji syukur, setengah perjuanganku berbuah manis. Terminal asing serta belantara sukses kujajaki, tinggal kujatuhkan palu vonis, bus apa yang hendak kukencani malam ini.


IMG00178-20120409-1611


Kumasuki salah satu agen dengan papan mencolok PO Raya, dihiasi papan-papan kecil PO lainnya.


“Masih ada tiket ke Jakarta sore ini, Mas?” tanyaku memulai pembicaraan.


“Jakarta-nya mana, Mas?” balasnya dengan ramah.


“Mana saja boleh…” responku.


Aku tak mau, misalkan menyebut nama salah satu tempat di Jakarta, justru malah menciutkan pilihan armada yang hendak kuburu.


“Untuk Raya tinggal Lebak bulus, Mas.” jawabnya.”Cuma adanya kursi belakang.”


Aku membisu sambil melirik PO-PO lain yang ada dalam buku katalognya .


“Sumba Putra masih ada, Mas?” telisikku setelah melihat potret armada yang nama depannya merupakan inisial dari pemiliknya, SUManto BAnyakprodo.


“Adanya yang eksekutif Mas, tinggal kursi samping toilet. Tiket 150 ribu.” jelasnya setelah melakukan tele-konference dengan agen Sumba Putra yang lain.


“Yang agak depan, ngga ada, Mas?”


“Mau kursi samping sopir (CD), Mas? Harga selisih sepuluh ribu,”.


Aduh, bagaimana ya? Jujur, aku bukan penyuka last seat selling itu. Kurang nyaman, demikian dalihku. Aku lebih senang kursi legal di baris pertama. (Ya iyalah…)


“Sindoro (Satria Mas) gimana, Mas?” usutku sekali lagi, who knows yang jatah Tanjung Priok masih menyisakan bangku.


“Itu malah sudah habis dari kemarin, Mas.”


Oh me…Dalam juga palung pasar penumpang Wonogiri-an. Pantas saja, kue legitnya diperebutkan puluhan PO, dari level kakap, medioker hingga liliput.


Kuucapkan terima kasih kepadanya sebagai bentuk penolakan halus, dan aku berjanji akan kembali andai tak mendapatkan bus yang sesuai requirement.


Aku pun bergeser ke sebuah counter yang terletak di pojok terminal. Dari iklan marketingnya, begitu kentara kalau itu adalah agen resmi PO Gunung Mulia.


IMG00181-20120409-1707

“Siang! Masih ada tiket ke Jakarta, Om? Jurusannya mana saja boleh…” basa-basiku membuka transaksi. 


“Banyak Mas, ini Gunung Mulia masih pada kosong,” gamblang seorang bapak paruh baya. “160 harganya.”


Yah…Gunung Mulia. Entah mengapa, aura bus yang sering disingkat “GuMul” itu belum mampu membangun rasa ketertarikanku untuk mencicipinya.


“Kalau yang lain, adanya apa, Om?” kualihkan tawarannya meski beliau mulai gusar lantaran gagal membujuk calon sewa.


“Lorena eksekutif 155, OBL  eksekutif 150, dan Handoyo Ekonomi 65 ribu, Mas.”


Uh…tak satupun yang bisa mengunci interest-ku. Dari ekspresi manyun, Bapak agen tahu bahwa aku tak sekalipun kesengsem dengan alternatif yang disodorkan.


“Mau Tunggal Dara Putera, Mas?VIP, tiketnya 130 ribu” rajuknya.


“Plus service makan itu, Om?”


“Iya, Mas”


“Ke Pulogadung bisa ngga?”


“Bisa Mas, tapi nanti oper di Cibitung.”


Aha!!! Boljug alias boleh juga nih.


Ruang memoriku langsung memutar dokumentasi tentang bus berbalur cat merah kombinasi kuning, yang  terkesan ranum dan nikmat untuk direguk pesonanya. Dipercantik sketsa-sketsa grafis tak beraturan, goresan-goresan warna yang dimainkan semakin mempermanis tampilan luar. Seringkali perhatianku tercuri saat menatap kulit tubuhnya, yang menurutku anggun dan menawan, bak seorang Dara.


Tak apalah nanti berepot-repot ria, yang utama dan sakral, nafsu liarku untuk mencumbui Tunggal Dara Putera tak bertepuk sebelah tangan.


Apa sih istimewanya bus itu?


Dalam alam imajiku, bisa jadi itu nota protes yang dilayangkan para speed hunter atau comfort seeker untuk meminta klarifikasi mengapa aku lebih memilih bus yang bermarkas di Ngadirojo itu.


Aku hanya bisa ngeles, kadar ke-subyektifitas-anku dalam memilih dan mencoba “bus baru” dalam perbendaharaan turingku lebih menonjol. Hanya lantaran coretan bodi, hal sesepele itu lantas memburamkan nalar sehatku.


“Stop berpolemik mengapa mesti bus anu atau armada itu. Itu hak prerogatif seseorang, jangan diganggu gugat.” kilahku tegas. Hehe…


“Boleh, Om. Adanya bangku nomor berapa?” lanjutku  mengiyakan.


“Maaf Mas, kalau bus sudah lewat kantor pusat, tiket dijual tanpa nomor kursi. Tergantung mana yang kosong”.


Lo, kok aneh, ingkar dari adat kebiasan SOP ticketing bus malam.


“Jadi, minta jatah bangku bukan ke kantor lagi ya, Om?” tanyaku keheranan.


“Langsung sama kru bus Mas. Untung-untungan juga, bisa dapat kursi depan, tengah, bisa juga belakang”.


Aduh, kok nyeleneh begini. Kru merangkap agen berjalan?


Ah, tak apalah. Semakin aku banyak menuntut, justru semakin mempersempit pengeksekusian rencanaku. To the point saja.


“Saya pesan satu ya, Om?” pintaku.


Kemudian diteleponnya awak bus dan tiba-tiba kabar gembira itu datang…


“Mas, ada penumpang Wonogiri nyancel tiket, bangku nomor 7. Itu buat Mas ya,” 


“Alhamdulillah ya Allah, Engkau berkenan memberi kemudahan dalam acara-acara pra-turingku,” lirihku bersyukur.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar