Senin, 11 Februari 2013

Escape From Comfort Zone (2)

“Hati-hati ya, Pa!” pesan mamanya anak-anak saat melepasku seraya mencium punggung tanganku, tak lama setelah motor kami mendarat di depan kantor Perhutani Kabupaten Rembang.


“Duh istriku, masih terbayang jelas saat kali pertama engkau mengantar kepergianku ke ibukota, dengan status kita berdua sebagai pengantin baru. Air kesedihan yang berkaca-kaca di pelupuk matamu saat mengiringi jangkah kakiku menapak kabin Lorena LE-381, tak bisa membohongi nuranimu, bahwa engkau pun sebenarnya terkaget-kaget dengan “model pernikahan aneh” yang bakal kita tempuh.


Perasaan sama itu pula yang membelengguku, ketika kusadari bahwa long distance relationship bukanlah perkara mudah dan ideal bagi sebuah keluarga. Tapi, teringat akan kata-katamu “jangan selalu dibayangkan karena akan terasa berat, langkahkan kaki dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya, yakinlah, jalinan cinta dua hati bakal lebih ringan dijalani”, membuat diri ini kuat mental dan tahan banting menyikapi kehidupan wira-wiri yang keras dan penuh aral.    


Tujuh tahun sudah guliran waktu menajamkan naluri keibuanmu. Meski acapkali ditinggal pendampingmu meladang nan jauh dari rumah, justru menegakkan ketegaranmu, tak jadi pribadi yang cengeng dan pemanja, selalu mandiri serta berdikari, urusan rumah tangga kau ampu sekuasamu. Dan semoga, di kelak kemudian hari, engkau menjadi ibu yang  dibanggakan buah hati kita.


Ketangguhanmu selangit, tak sepadan disandingkan dengan suamimu, meski aku bagian dari klan lelaki yang senantiasa bangga akan bekal kekuatan raga yang tercipta.”   


“Pati...Pati...Kudus...Semarang!!!” teriak lantang kenek PO Sinar Mandiri Mulia (SMM), membuyarkan lamunanku.


14.53


Segera kunaiki angkutan AKAP bertrayek Bungurasih - Terboyo, sebagai armada feeder yang menghantarkanku ke Terminal Pati. Ada keuntungan kecil yang kugenggam, yakni berjodoh dengan bus besutan Restu Group itu. Dibanding Jaya Utama, Widji Lestari maupun Indonesia, SMM lebih menantang adrenalin, lebih menonjol style alap-alapnya dibanding kompetitornya.


Naluriku tak meleset. Pengusung mesin varian AK8 E3 itu langsung melesat, membabat satu persatu perintang, khususnya truk-truk raksasa penghancur aspal Pantura. Jalan dua lajur, dengan lebar nge-press 6 meter yang membujur dari  Tambak Omben hingga Juwana, menjelma menjadi sirkuit yang menantang kecakapan skill penghelanya, dipadu unjuk keterampilan menyeser penumpang. Beberapa kali nyaris kres dengan mobil lain dari arah berlawanan, hingga moncong bus harus berkelit dengan menempel tipis pantat kendaraan di depannya.


Melihat sosok sang joki yang gaul dan funky habis, rambut disemir dengan dandanan eksentrik, seakan mempermanis tampilan model New Proteus yang dicambuknya. Apalagi saat kulirik jempol tangan kiri, dengan kukunya yang dipiara memanjang, seakan meneguhkan mitos bahwa ciri inilah petunjuk tersembunyi bahwa driver tersebut bergenre ngejoss.


Bus dengan label “Hunter Mania” ini mencatatkan skor di papan kemenangan saat mencundangi Pahala Kencana Setra Butterfly B 7599 XB di Kaliori. Aksi kejar-kejaran pun mengemuka selepas Tugu Sukun Kota Bandeng, ketika Sinar Mandiri N 7035 UG kelas bumel mulai tersusul. Sopir sempat ngomel-ngomel, lantaran kesal kompatriotnya tak bisa menjaga slah dengan bus berikutnya. Pantas saja, di Kota Bandeng ini, N 7726 UG nihil mendapatkan rezeki.


Setelah menggasaknya, tampak buritan poolmate yang lain, Patas Panda. Sepertinya, sopir Jetbus itu memancing permainan saat membiarkan busku hampir separuh bodi menyalipnya. Ternyata, binatang ikon negeri tirai bambu itu juga kian menambah kecepatan. Alhasil, dua raja jalanan saling sejajar beradu cepat, mengangkangi area beton Juana-Pati yang tengah sepi dari pengguna jalan, menahbiskan diri siapa yang lebih ngebut. Sayang, “drag race” mesti berakhir dengan bersulang klakson, saat N 7733 UG itu lebih memilih jalan lingkar, sementara ATB-ku mengarah ke Gemeces.


Wah...mantap, mukadimah turing nan memukau.


15.44


Terminal yang berlokasi di seberang pemancar radio kepunyaan paranormal kondang Bos Edi, Harbos FM, sore itu masih terlihat sunyi dalam jumlah kehadiran armada. Yang sedang lego jangkar hanya Nusantara, Bejeu, dua PO Selamet serta Pahala Kencana. Sementara, konsentrasi penumpang sudah memadati teras di depan loket-loket bus.


Setelah kutinggal sejenak menggugurkan shalat asar, barulah berlabuh kabilah yang lain. Tercatat, Muji Jaya, Shantika, Bayu Megah, Haryanto, Sido Rukun, Budi Jaya serta satu bus “extra ordinary” yang khusus diperuntukkan buatku, Garuda Mas.


“Langsung naik ya Mas, busnya segera berangkat,” kata Mbak Agen sesaat setelah aku melakukan check-in.


DSC00146 (1)


16.15


Kabin terkesan penuh sesak oleh para penduduk. Dimensi ruang yang “hanya” 11 m X 2.5 m, dipangkas luasan untuk smoking area, sungguh-sungguh sempit dijejali 50 seat. Tampak penumpang sedikit tersiksa dengan posisi dengkul mepet, dan antar bahu saling bersinggungan, memenuhi konfigurasi bangku 2-3.


Menatap raut muka “tetangga-tetangga Mas Anees” ini, tak bisa dipungkiri menyimbolkan sosok rakyat kecil, orang dusun, serta pekerja informal-an. Dan yang begitu kentara, cuek soal penampilan diri. Lugu, polos dan apa adanya, nyaris tanpa kontaminasi life style modern.  Really really economical taste...


Sebuah planet yang asing bagiku, namun sekaligus menjewer ke-sok ekslusifan-ku yang terjerembab dalam jeruji citra kenyamanan bus eksekutif. Ternyata aku ini wong ndeso yang lupa daratan, hampir menanggalkan kejelataanku sebelum akhirnya cekikan harga tiket menyadarkanku. Sebenarnya, aku tak jauh berbeda dengan mereka. Lahir, tumbuh dan besar di lingkungan pada strata masyarakat menengah ke bawah. Ada masanya, aku termasuk dalam golongan mereka, yang lebih mementingkan budget daripada comfortabilty sebuah perjalanan.


Terima kasih Garuda Mas atas “murahnya” biaya perjalanan serta reminder sosialmu. Aku harus berlapang dada menerima segala keterbatasan yang melekat pada bus ekonomi.


Saat duduk di baris kedua sisi jendela kiri, kucoba menghayati cerita mingguan yang pasti tak bakalan sama dengan fragmen-fragmen sebelumnya.


Yup... Barangkali, Garuda Mas (GM) ini bisa dijadikan potret buram penegas tuah kutukan belantara Muria yang ganas dan liar bagi pemburu-pemburu dari manca negara. “Tambang emas” di pesisir timur ini hanya prospek bila yang  mengeksploitasi adalah “pendulang setempat”.


Sejarah menulis, PO elite sekaliber Lorena, Kramat Djati, serta Gajah Asri Raya babak belur dihadang “persekongkolan jahat” pemain-pemain lokal. Apalagi tanpa dukungan finansial dan armada yang memadai semacam Setia Bhakti dan Agung Bhakti. Diakui sebagai “anak bawang” sudah merupakan prestasi bagus, meski akhirnya juga kembang kempis ditelan putaran zaman.


Tinggalah Garuda Mas dan Lorena yang konsisten beroperasi, “rajin masuk” setiap hari. Menurut Pak Alan, kru senior GM, Si Ijo dari Cirebon itu memang tak bakalan meninggalkan bumi Tayu dan Jepara, meski hanya menyisakan satu armada sekali pun.


“Itu lahan hoki bagi bos kita, Mas,” ujar beliau saat itu, ketika aku turut busnya dalam perjalanan Pulogadung – Blora.


Ternyata, di balik supremasi kepak sayap Garuda Mas yang begitu perkasa memeluk tampuk tlatah tenggara Jawa Tengah, justru kisah kesuksesan PO yang berbasis di Kedawung ini babar dari tanah Jepara. Lantaran stagnan mengelola jalur Pekalongan-Cirebon-Jakarta, rupanya jadi trigger bagi pemilik untuk memutar akal mengembangkan usahanya. Dan di awal tahun 1980-an, dipilihlah kota ukir sebagai jajahan baru.


Sayang, legitnya sirup manis bumi Kartini tak lama direguk. Setelah menetas PO pribumi, Muji Jaya, -- terlebih karakter laskar Kalinyamat sebagai (maaf) penganut primordialisme sempit serta menjunjung tinggi fanatisme kedaerahan --  Garuda Mas pun sedikit demi sedikit terdesak. Dan GM-01 kala itu, kembali harus bergerak cepat kalau tak ingin terhempas. Intuisinya berbicara dan sungguhlah tepat, melirik ranah Purwodadi yang masih sepi pemain. Apalagi di tengah kocar kacirnya kondisi PO penguasa saat itu, PO Marga Mulia (CMIIW), Garuda Mas pun berkembang pesat serta ekspansif. Tak urung, di era kekinian, dengan prediket the best dalam urusan service, membawa nama Garuda Mas dinobatkan sebagai penguasa tunggal wilayah Grobogan dan sekitarnya.


“Tanpa masuk Jepara, kita tak akan merasai sukses di Purwodadi, Mas,” imbuh pemegang armada Jetbus Eksekutif itu.


Hasil kerja keras dan buah perjuangan yang patut diacungi empat jempol. 

1 komentar:

  1. Jakarta, Aktual.com – Para pedagang daging sapi di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, menyatakan mogok dagang selama empat hari, terhitung mulai Sabtu (8/8) malam.

    Hal itu diungkapkan oleh salah satu pedagang yang akrab disapa Bang Jun.

    “Kita mogok dagang dari malam minggu. Rencana sampai hari Rabu,” ujar Bang Jun saat ditemui di Pasar Kramat Jati, Minggu (9/8).

    Mulai Malam Minggu, Pedagang Daging Kramat Jati Aksi Mogok

    BalasHapus