Jumat, 08 Februari 2013

Mimpi Yang Terbeli (3)

Byar…


Pendar cahaya deretan lampu LED yang menempel di langit-langit menyentil kelopak mata.


Olala…ternyata dalam jarak “sehasta” dari Pananjung, Rejeki Baru menepi. Handbrake diaktifkan saat tapak roda menginjak parkiran rumah makan yang terletak di sisi kanan jalan.


Dari baliho, tertera nama “Ampera” dan disertakan alamat Jl. Bandung-Tasikmalaya Km 47, Limbangan, Garut.


IMG00307-20120511-2145


Kesan pertama, sebuah restoran yang tidak terlalu besar, dengan daya tampung ± 100 tamu.  Identitas bangunan berasitektur Sunda terlihat dari model atap julang ngapak, dengan daun kawung (enau) sebagai gentengnya. Di belakang ruang utama, terdapat saung-saung yang “mengapung” di atas kolam ikan.


Soal kebersihan, aroma masakan, landscape taman, keramahan pramusaji, layanan prasmanan, serta tata ruang cukup menggelorakan selera makan.


IMG00304-20120511-2139


Kuracik menu nasi putih, sayur asem, bakwan jagung, sambal goreng kentang mustofa, pepes ikan mas, sambal bajak plus lalapan, serta teh tawar sebagai penyedia nutrisi tubuh malam itu.


IMG00303-20120511-2131


“Semuanya Rp19.500,00, Mas.” kata Bapak bagian kasir, setelah mengaudit apa-apa saja yang aku comot.


22.10


45 menit berlalu, para penumpang telah siaga kembali di tempat muasal. Bus yang menjunjung slogan “melayani lebih sungguh” mengangkat kait jangkar. Tak lama setelah menapak jalan nasional, langsung mengekor bus wisata PO Efisiensi AA 1441 CM serta PO Damri 3383.


Bertiga berparade di antara rombongan truk dan mobil kecil, bahkan bergotong-royong dalam mengasapi bus Budiman Cikarang-Tasik di wilayah Cibatu, Kersamanah.


Bila aku komparasi, traffic pantai selatan tak seramai pantai utara. Namun lebar jalan yang tak seberapa membuat usaha menyalip sebuah motor pun butuh upaya keras.


Pangkalan, Citeras, tepatnya di rumah makan Rahayu 2, terlihat Doa Ibu Setra Adi Putro sedang mengakomodir  para sewa dalam menunaikan rutinitas mengisi perut.


Gereget dan fighting spirit pramudi tengah muncul ke permukaan. Cabikan kaki kanan dalam memainkan pedal gas mendorong reaktor dari marga RK8 menyuguhkan performa apiknya. Aset “pelat merah” R 1564 AD jurusan Jakarta-Cilacap dipaksa melempar handuk di  Cipatik.


Sayang, mataku tak bisa diajak kompromi untuk lebih lama mencumbui eksotisme tlatah Priangan Timur. Tak bisa dipungkiri, sebenarnya kenyamanan armada adalah seteru penggiat turing, hanya jadi pemindah kasur empuk di rumah ke atas roda, menurunkan value of travelling lantaran niatan menikmati ragam  kehidupan di sekeliling jalan raya terpangkas kegiatan tidur.


Malangbong hingga puncak Gentong, masih sempat kurasai level kesulitannya, di tengah kesadaran yang menyurut.


Sebelum akhirnya aku terlelap dalam buaian lima lapis bilah semi elliptical leaf spring, komponen penyusun sistem shock absorber.


00.46


“Bapak…Ibu…Monggo, bagi yang ingin ke belakang, kami persilahkan!” sayup-sayup suara dari Mas Kenek mengusik aksi meremku.


Kuamati kanan kiri, banyak “penduduk” mulai meninggalkan tahtanya, sementara bus rehat di sebuah areal SPBU di daerah Wangon.


Kendala bagi bus yang tidak menyediakan fasilitas toilet built in, sehingga ada acara time out di tengah perjalanan, memberi kesempatan kepada penumpang menyelesaikan hajat biologis mereka.


Break selama 10 menit, bus yang ditukangi taipan dari negeri Magelang itu mengaspal kembali. Silver Class berusaha mendekati Gapuraning Rahayu Evolution yang diintip dari kejauhan. Entah berapa lama gerakan approaching ke buritan Z 7991 TA itu diperagakan, hingga aku terkantuk-kantuk dan selanjutnya meneruskan mimpi.


04.38


Lirih kumandang azan subuh menelusup dinding telinga. Segera kubuka mata, mengedarkan pandangan ke sekitar. Hari masih berselimutkan gelap, sementara bus sedang berhenti di pojok pertigaan jalan nan sepi. Kru sibuk membongkar sebagian isi bagasi.


Samar kulihat plang toko obat “Bethesda”, Jl. Bhayangkara, yang ternyata adalah kantor chapter Kota Wonosobo.  


Huft…hampir empat jam aku melewatkan momem-momen indah  perjalanan. Rugi…padahal aku belum kenal mendalam jalur selatan Jabar dan jalur tengah Jateng. Kapan lagi aku berkesempatan mengembara ke rute yang sama sekali tak menyinggung peta PJKA yang kulakoni tiap pekan?


Sepertiga kursi telah ditinggalkan penghuninya, termasuk ibu-ibu yang duduk di sebelahku, sebelum produk Jepang itu melanjutkan sisa tripnya.


Menggilas jalanan kota kabupaten pemangku Dieng Plateau, melewati Terminal Mendolo yang lagi memajang Damri bergaun Skania jahitan Restu Ibu di “teras depan”, suksesor Marcopolo OH-1525 yang telah ditake over PO Haryanto itu, bersiap kerja rodi.


Yes… it’s showtime, ready for maiden voyage jalur Wonosobo-Temanggung-Magelang. Itulah pasal numero uno mengapa aku lebih memilih Rejeki Baru, memadamkan komporan Koh Hary Cendana Intercooler untuk menggagahi armada Evonext, duta baru Pahala Kencana line Jogja.


Hiking track Kertek-Kledung sepanjang 12 km jadi special stage untuk menguji durability mesin diesel empat langkah yang disangga enam silinder in line. Momen puntir sebesar 76 kgm pada putaran 1500 rpm pun terengah-terengah menjinakannya.


Lintasan berat berupa tanjakan landai memanjang berdaulat mendongkrak tingkat kebisingan di dalam kabin oleh raungan engine 7.684 cc yang menderu hebat.


Yang membuat takjub, setelah menyalip medium bus bertagline Jamaica, tampak di muka iring-iringan dua truk trailer yang hanya berkonfigurasi empat sumbu roda menggendong kontainer 40 feet. Ck…ck….ck…


Aku pun membayangkan kondisi bus bumel Purwokerto-Semarang yang ala kadarnya, minim perawatan dan malas meremajakan armada-armadanya, sementara tiap hari mesti berperang dengan medan yang penuh aral lagi maut. Benar-benar gede nyali dan nekat tingkat tinggi…


Pantas saja, untuk lajur yang mengarah ke barat disediakan wahana penyelamat, sebagai antisipasi bagi kendaraan yang mengalami braking failure. “Akal-akalan” yang persis sama diterapkan Jasa Marga Cabang Semarang dalam melindungi pengguna jasanya saat menuruni tol Jatingaleh-Muktiharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar