Jumat, 08 Februari 2013

Mimpi Yang Terbeli (1)

“Apalah arti sebuah mimpi?”


Bagi mereka yang apatis, mimpi dipandang sebagai perkara lumrah, remeh dan ngga penting banget. Mimpi sekadar kembang-kembang tidur, hanyalah lukisan tingkah-polah manusia di alam bawah sadar.


Aku pun jarang berpikir serius tentang mimpi-mimpi yang kualami, apalagi memusingkannya. Namun, satu mimpi aneh di tengah malam membangunkanku dari peraduan. Bulu kuduk berdiri, badan seketika merinding mengingatnya. Something stupid yang justru membikinku mengernyitkan dahi untuk menafsirkannya, mencari makna implisit di baliknya.


Tiba-tiba saja, mendiang kakek datang melalui lorong gelap yang bernama mimpi. Yang membuatku pucat pasi, bukan senyum keramahan khas “abdi dalem” Jogja yang beliau tampakkan, melainkan raut wajah yang menyimbolkan ekspresi duko (marah).


Almarhum melayangkan “somasi” lewat pitutur sederhana tapi sungguh-sungguh menohok kealpaanku.


“Kowe iki njur kepriye, wis suwe ora dolan mrene. Opo wis lali mring keluarga kene? Eling tho Dik, ibumu, simbah-simbahmu, leluhur-leluhurmu kuwi “priyayi” Jogja. Ojo pisan-pisan mutus bab bebrayan paseduluran.” (Kamu itu bagaimana, sudah lama tak main ke sini. Apa sudah lupa dengan keluarga di sini? Ingat Dik, ibumu, simbah-simbahmu, leluhur-leluhurmu itu orang Jogja. Jangan sekali-kali memutus soal ikatan persaudaraan)


Masya Allah…Bagiku, itu bukanlah mimpi sembarang mimpi. Meski cuma adegan abstrak di layar semu, sejatinya mengandung hakikat serta nasihat tentang keluhuran budi pekerti. Apalagi yang menghadirkannya adalah special one yang begitu istimewa di mataku, seseorang yang pernah mewarnai lembaran hayatku.


Dialah yang aku resapi petuah-petuah bijak serta aku teladani laku agungnya. Laki-laki super yang selama setengah windu jadi pembimbing, pendidik, pengayom dan pengawal hari-hariku selama menimba ilmu di kota pelajar. Beliaulah yang membentengi jiwa labilku saat menapak fase remaja agar tak berkembang liar, tetap pada koridor sebagai anak muda yang baik lagi manis. Betapa beruntungnya aku dibanding cucu-cucu yang lain. Walaupun singkat, sempat merasai cucuran kasih sayang yang melimpah, bahkan cenderung dimanjakan.


Aku begitu dekat serta lekat dengannya, baik lahir maupun batin.


Masih senantiasa kuingat, saat aku pamit berpisah untuk mencari penghidupan seusai kurampungkan tugas belajar. Pelupuk mata yang berkaca-kaca serta air muka bermuram durja merefleksikan bahwa beliau begitu berat melepasku.


Selang tiga tahun kemudian, kakek berpulang. Kesedihan tak terperi, di saat aku belum bisa menunjukkan bakti dan membalas budi, beliau paripurna memungkasi titah sebagai hamba-Nya.


Aku pun serta merta berikrar pada diri sendiri. Setidaknya setahun sekali akan tetap akan sowan, nyekar ke tempat peristirahatan terakhir beliau, sekaligus menguatkan simpul-simpul silaturahmi dengan keluarga besar Jogja, sebagai bentuk penghormatanku.


Bodohnya, sepanjang tahun 2011 bergulir, aku benar-benar khilaf dan teledor atas janjiku. Tak sekalipun kupijak tanah Ngaglik, Sleman, kampung halaman almarhumah ibuku tercinta. Entah bagaimana perasaan pakde, paklik, mas, mbak, saudara serta kerabat dekat, melihat aku terkesan “puasa tandang”, hampir dua tahun tanpa mengetuk pintu  rumah kediaman mereka.


Lebaran yang lalu, aku “mangkir” beranjangsana, lantaran pendampingku tengah hamil tua. Pun saat menerima undangan pernikahan sepupuku yang akan menghelat acara resepsi tepat di momen spesial, tanggal 11 bulan 11 tahun 11. Aku kembali berhalangan hadir, sebab cuma berselang dua hari dari kelahiran Binar Mentari, putri ketigaku.


Semestinya, setelah tak ada lagi urgensi kepentingan rumah tangga, aku menyempatkan diri “membesuk” bumi Mataram. Tapi hal itu tak kulakukan jua.


“Nanti-nanti aja ah, toh hari raya juga sebentar lagi,” demikian hasutan setan yang berdiri di atas sifat jelekku, yang acapkali menunda-nunda hajat.


Barangkali, kemalasanku mengobarkan “obor persaudaraan” yang menginisiasi Simbah Kakung menjewer kebandelanku. Dan pertimbangan alasan itulah - barangkali pula -, beliau membingkai teguran lewat panggung ilusi.


“Inggih, sendiko dhawuh, Simbah. Ingkang wayah saestu wangsul Jogja,” tanpa kutawar-tawar, kubangun lagi ketaatanku dengan sikap sami’na waatha’na. (Baik Simbah. Cucumu pasti pulang ke Jogja)


Senin, 7 Mei ; 14.15


Dengan roman muka berseri-seri, kumasuki lobi sebuah ruko perwakilan biro travel yang berlokasi di kompleks pertokoan Pulo Mas.


IMG00298-20120509-1304


“Mbak, pesan tiket buat hari Jumat ya!” requestku pada karyawati bagian helpdesk.


“Maaf Mas, sudah penuh. Biasa Mas, para langganan sudah booking duluan.” jawabnya sembari menunjukkan sketsa bangku yang kolom-kolomnya telah berisi nama dan nocan.


Aduh…estimasiku akhir pekan ini bukanlah musim panen, tapi mengapa travellers tak menyusut populasinya.


“Ngga bisa usaha satu, Mbak? Mosok Mbak ngga bisa bantu saya yang pengin ngerasain Rejeki Baru,” ibaku sekali lagi, berharap dia lumer dan berbaik hati menyisakan satu kursi yang berharga buatku.


“Hmm…begini saja. Mas tinggalin nomor telepon, kalau ada cancel-an, nanti saya hubungi,“ ujarnya dengan bahasa yang halus.”Paling lambat, hari Rabu saya kabari, Mas.”


Rejeki Baru…Rejeki Baru…mau paceklik kek, mau minggu tenang kek, mau peak season kek, tetap aja ludes. Rasanya butuh perjuangan berat untuk bisa menelusup di antara jajaran pelanggan abadi Jumat sore.


Sempat terpikir olehku untuk “melabrak” Terminal Pulogadung, mengamankan satu tiket PO Ramayana E3, yang kugadang-gadang sebagai eksekutor plan B.


Ah…tak usahlah, style yakin saja. Minggu depan adalah long long weekend, masak tak satupun dari frequent flyers Rejeki Baru yang menggeser agenda pulang ngetan ke hari Rabu depan?


Selasa, 8 Mei ; 10.20


Drett…drett…drett…


Kulirik gadget genggam yang tergeletak di samping netbook kerja, kutatap monitornya menelisik siapa gerangan yang memanggil.


“ID Caller : 021 4700791”


Wow…sontak aku kegirangan. Dua digit depan (47) penanda kode area Jakarta Timur. Pasti dan pasti…nomor telepon Rejeki Baru


“Siang Pak, dengan Bapak Didik Edhi?”


“Benar, Mbak”.


“Pak, ini batalan untuk hari Jumat. Nomor 4C. Pripun?”


“Oke, Mbak. Sore ini apa besok saya ambil tiketnya ke kantor.”


“Kalau memang repot, nanti bayarnya pas mau berangkat saja, Pak. Ngga apa-apa, kok!” terangnya. “Oh iya, bus berangkat jam 5 sore. Kami tunggu kedatangannya.”


Wah…salut dan acung jempol dengan layanan off board Rejeki Baru. Begitu tinggi kepercayaan mereka pada penumpang, meski statusnya sebatas calon pengguna jasa travel Jakarta-Jogja untuk kali pertama.


Jumat,  11 Mei ; 17.10


Timer countdown lampu merah perempatan Kelapa Gading begitu lama menuju detik ke-0. Dari atas jok roda dua berboncengan dengan pengantarku, dengan perasaan cemas kusaksikan armada Silver Class beringsut dari posisi parkir, bersiap take off.


IMG00308-20120511-2146


Sementara personel sekuriti mulai membuka lebar-lebar gerbang pagar yang menghadap Jalan Perintis Kemerdekaan.


Ah, mana mungkin berani ninggal penumpang, sementara selembar tiket sudah aku barter dengan dua lembar kepingan seratus ribu pada Rabu sebelumnya.


Saat traffic light hijau berpijar, kugeber habis-habisan motor matic 100 cc membelah riuhnya kendaraan.


“Aduh Mas, hampir saja ditinggal. Habis ditelepon berkali-kali, tak diangkat.” rajuk si Mbak yang kemarin melayani proses ticketing-ku, setibanya aku di pelataran.


“Maaf Mbak, macet. Saya tadi lagi bawa motor, jadi tak bisa terima telepon.” permohonan maaf kuhaturkan.


Really…really on time!


Gara-gara aku seorang, para end user Rejeki Baru terkena getahnya. So, sorry…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar