Senin, 11 Februari 2013

GreenZational (1)

Pulang Enggak? Pulang Enggak? Pulang Enggak?


Begitulah pertanyaan elementer di minggu pertama workdays setelah jeda libur hari raya, namun sejatinya membangun keruwetan dan perkecamukan yang bertele-tele di atas meja sidang perlogikaanku.


“Tak pulang rindu, pulang mesti tebal saku”, ah...mana yang kuputuskan?


Di balik gegap gempita serta kemeriahan perayaan momen kemenangan umat Islam, pascalebaran selalu mengundang permasalahan pelik bagi pelakon mudik mingguan sepertiku ini. Apalagi kalau bukan penyakit laten berupa upping price tiket yang super edan-edanan, yang dilakukan oleh hampir semua PO.


Misal Jumat depan aku nekat pulang, barangkali tak begitu terkendala dengan ke-anomali-an ini lantaran posisiku menentang arus balik. No problemo lah. Tapi, soal ke baratnya nanti benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Terlebih sudah menjadi “tradisi negatif” di dunia bus regional Muria Raya, harga tiket tak serta merta terjun ke patokan yang wajar, seiring dengan berakhirnya “durasi tuslah” yang ditetapkan pemerintah. Bisa-bisa, hingga H + 3 minggu, masih melambung di atas 50% dari nominal resmi, yang berarti belum juga menamatkan era pemberlakuan batas atas untuk ongkos perjalanan moda darat itu.


“Semua tergantung pasar, Mas, kalau masih ramai ya jangan harap cepat kembali ke harga normal.” bela agen bus langgananku, seakan mengamini kebijakan manajemen PO tempat dia bernaung.


“Aku Ingin Pulang “ itulah final decision-ku, mengutip satu judul lagu pelantun syair-syair balada, Ebiet G Ade. Apalagi teringat rengekan permaisuri yang ngebet melakukan visit ke dokter kandungan, kian mensyahihkan dalihku bahwa bentang Pantura antara Jakarta – Rembang memang kudu aku jelajahi kembali.


“Sekali niat pulang ya tetap pulang, apa yang perlu ditakuti. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan untuk mengakali dan mengirit bea perjalanan ke ibukota nanti.” lirih batinku membisik, menebalkan keyakinan bahwa  ibadah PJKA akhir pekan ini harus terselenggara dengan cermat lagi hemat.


Jumat, 9 September 2011.


Iklim kerja yang masih angot-angotan, memberiku kesempatan untuk memangkas timeline meski harus mencederai aturan kantor berupa penistaan jam kehadiran. Tak apalah, diri ini sudah kebal disunat. Ketika gajian, komponen tunjangan transport seringkali terpangkas sekian ratus ribu gara-gara kenakalanku ini.


Berkat jasa hantaran bus antar halte antar shelter bernomor lambung JET-033, diteruskan assist dari Metromini 03, kira-kira pukul setengah tiga, aku mendarat di jantung Terminal Rawamangun.


Sebenarnya, ada hasrat untuk mengayunkan langkah kaki menuju pelataran pojok barat. Kekuatan “sex appeal” duo bidadari berkulit nano-nano yang diampu Pahala Kencana sesaat membelalakkan penglihatanku. Adalah dua jetbus masing-masing jurusan Blitar dan satu lagi tanpa papan trayek. Feelingku, sepertinya akan difungsikan untuk jatah Bojonegoro, sehingga bisa berkompromi dengan rute kepulanganku.


Tapi rencana itu kutunda. Aku nyaris melupakan sesuatu, yakni belum sowan dan ber-minal aidzin wal faizin ke Mas Mul, yang tengah melangsungkan “open house” bagi penikmat sotonya.


Puji syukur, gerai kulinernya sudah buka dan beruntung pula aku bertemu dengan Mas Nano dan dua member HR-mania. (Maaf, saya lupa namanya). Setelah beramah tamah, melepas kangen serta berwawancanda, jarum jam perlahan mendekati angka tiga.


“Mau naik bus apa, Pakdhe?” tanya Mas Nano, sambil merayu untuk mencoba PO ini atau PO itu.


Inilah tak enaknya bepergian dengan metode go show. Hati gampang berbolak-balik disuguhi ragam godaan, sehingga membelokkan peta rancangan pra-turing. PO A itu favoritku, tapi menatap body bus B yang lebih mengkilap, terkadang merabunkan pandangan. Atau PO X terkenal banter, namun keberadaan bus Y yang mengusung fitur kenyamanan lebih, jadinya merubah pikiran.  Demikianlah kegagapan yang kadangkala aku alami.


Ogah menyiakan-nyiakan tempo dan tak mau semakin bingung akan siapa  yang kurangkul sebagai calon transporter, tiba-tiba nuraniku membuat keputusan yang mengejutkan, tak logis dan berbau spekulatif.


“Pokoknya, bus timur-an yang datang sebelum jam tiga dan bus itu harus paling baru, Mas Nano?” jawab lisanku meneruskan bisikan kalbu.


Jejaka Kuningan itu pun menawarkan diri menyidak bus-bus yang datang selama aku tinggal nongkrong di tempat Mul Soto, sesuai dengan requirement yang aku sebut.


“Ada Malino Jupiter, KD Marcopolo Malang, OBL Evolution Banyuwangi, Lorena Setra Banyuwangi, PK Marco 1526 Malang. Dan ini yang paling cocok dengan incaran Pakdhe, Lorena Denpasar New Celcius...” terangnya gamblang.


Wah, ternyata kandidat penyambung aspirasiku adalah Lorena.


Hmm...Si Ijo. Gimana ya? Iya apa engga? Engga apa iya? Ada kalanya, aku ini belum sepenuhnya dapat membebaskan diri dari belenggu stigma miring tentang performa penggawa kerajaan Tajur itu. Padahal, aku berusaha berpegang teguh pada ikrar yang kuucap sendiri, bahwa setiap bus punya keekslusifan, tak bisa senantiasa diunggulkan maupun selamanya dicibir. Menurutku, sikap yang demikian lebih obyektif dalam menilai suatu bus/PO. Jadi tak perlu saling berbantah, melebai-lebaikan PO kesayangan.


Bagiku, bus tak ubahnya pertambangan emas, tinggal kita pintar-pintar menggali bongkahan, mendulang biji mulianya untuk kemudian mendapatkan gemerlap kemilaunya. Bukan begitu? Hehe...


Yo wis…aku harus konsisten dengan fatwaku, bahwa sore ini, bus paling belia tahunnya yang aku klik. Dan alhamdulillah ya…sesuatu banget (syahrini mode : on),  kali ini Lorena adalah dead choice, tak bisa dibarter dengan yang lain.


Atas bantuan Mas Nano, diantarkannya aku menuju loket Lorena untuk membeli satu seat.


“Ke Rembang ikut Denpasar boleh, Mbak?” tanyaku berbasa-basi.


“Bisa Mas, tiket dua ratus,”


“Wew.. mahal amat. Pek go ya?” tawarku.


Mbak agen diam sejenak, kemudian mengiyakan dengan ekspresi dingin.


“Ya sudah Mas. Rembang satu orang ya?” seraya sibuk mengisi kolom-kolom pada lembar tiket berseri B.11-LE 563454, sebagai pemungkas transaksi. 

2 komentar:

  1. kenapa tarif tuslah bis area muria lain dengan area selatan yo mbah didik,kalo selatan khususnya jateng biasanya H+7 harga sudah normal lain dengan area muria raya yang kadang sampai satu bulan baru turun tarifnya,itupun secara bertahap,apa tidak melanggar ketentuan dr pemerintah.

    BalasHapus
  2. Hmm...tiap daerah punya karakteristik sendiri terkait pentarifan tiket bus malam, Mas Warsono. Bisa jadi, 'kebijakan' pasca lebaran itu untuk mensubsidi 'murahnya' harga tiket Kudus-an di hari biasa.

    Maaf, hanya analisa dangkal saya saja, Mas.

    BalasHapus