Senin, 11 Februari 2013

Escape From Comfort Zone (4)

Tettt...tett... Klakson digaungkan sebagai pengganti kata salam bagi kru PO Bejeu Smiley Tayu-Pulogadung yang sedang berkutat dengan trouble, saat Garuda Mas baru saja melenggang dari pintu keluar rest area yang berdampingan dengan Rumah Makan Sari Rasa itu. Mungkin, nama Tayu lah yang menyatukan kedekatan emosional di antara mereka, meski beda latar PO, kesejahteraan dan budaya.


Kethoprak humor namun sarat pesan religi dari duet Konyil dan Markonyik diputar lewat piranti visual berupa TV LCD 26”, ketika keenam roda penyangga chasis dan bodi  menggilas jalur Weleri lama. Saking asyiknya para penumpang mengumbar tawa menyaksikan dagelan lokalan Pati tersebut, kutangkap sekelebat obyek besar menyungkurkan langkah bus-ku. Ternyata PO asal Serang, Armada Jaya Perkasa eks Shantika, B 7185 IS, yang tadi sempat dihembusi angin di daerah Cepiring.


RG, Si Jago Tanjakan.


Tak terbantahkan lagi konklusi yang demikian. Tanjakan panjang Plelen, dengan rata-rata kemiringan mencapai 40 derajat, berhasil dijinakkan mesin berdaya 240 HP secara enteng. Digenapi tontonan pamer kedigdayaan saat menenggelamkan laju Damri kode 3426 serta Tri Mulia berarmor Panorama 2.


Kesadaranku mulai menyurut, ditimang-timang kontur alam Alas Roban yang didominasi permukaan jalan naik turun. Keinginan untuk merelaksasi diri mulai terusik oleh ketidaknyaman ruang kabin kelas ekonomi. Kaki tak bisa selonjoran, putaran sudut reclining seat yang tak seberapa merebah, serta pundak penumpang sebelah yang sedikit menganeksasi lapakku, adalah handicap yang mesti kuterima.


Ditambah lagi semburan AC yang cukup mengerutkan tulang, tanpa ada tameng selimut serta bantal, benar-benar merepotkan stamina dan vitalitas tubuh untuk mengusirnya. Terlebih aku lalai membawa sarung dan jamu t*l*k an*in, barang wajib yang telah aku pikirkan sebelumnya untuk disiapkan, sehingga tak ada lagi pelindung badan untuk menangkal paparan hawa dingin.


Alhasil, hanya tidur kualitas ayam yang bisa kurasai. Berkali-kali aku terbangun dari upaya untuk menyandarkan letih barang sejenak. Di tengah halusinasi alam sadarku, memoriku masih sempat merekam kejadian ketika Sedya Mulya Nucleus 3, Tri Sumber Urip Black Scorking, serta Bejeu Selendang Adi Putro berkonspirasi meredam kepak sayap Garuda-ku, menjelang batas kota batik.


01.05


Byarr...byarr...lampu penerangan kamar penumpang dinyalakan, sontak membelalakkan katup mataku. Kutengok samping kanan kiri, dan aku ingat persis, ini adalah homebase Kedawung, Cirebon. Wah...lumayan juga aku dapat berisitrahat dengan lelap, tanpa bisa memandang lanskap malam yang membentang dari Pekalongan hingga Cirebon. Bisa jadi aku yang kecapaian teramat sangat ataukah ragaku sudah menemukan chemistry yang pas sehingga mampu berdamai dengan kekurangan grade ekonomi ini?


Naiklah petugas kontrol, dan luar biasanya, secara random, beberapa penumpang ditanyai berapa harga tiket yang dikenakan agen. Sepertinya ini trik dari pengurus ticketing untuk melakukan pengawasan melekat kepada kinerja agen daerah, yang notabene jauh dari kantor pusat. Jangan sampai mereka mengambil keuntungan sesaat, main seleweng dari pricelist yang telah dirilis. Apalagi Garuda Mas mengantongi image sebagai bus dengan persentasi kenaikan tuslah Lebaran paling rendah dibanding PO lain.


Baru saja diberangkatkan dan melakukan ketok palu untuk mengambil jalur Karangampel, dengan segenap nafsu Nusantara Scania K 1466 B dan Luragung Jaya menempel, kemudian melampui  mantan pengguna baju Celcius, sebelum dire-build oleh Adi Putro, ini.


Di Losarang, saat aku terjaga, tampak pula Selamet Evobus K 1417 GA melakukan hal yang sama, mendepaknya dari persaingan.


Kulanjutkan acara tidurku kembali.


Ngrrengg...ngrrengg...nggrreng...


Riuh orkestra raungan knalpot membubarkan peraduanku. Rupanya itu suara gas buang dari bus-bus yang menelikung jalan berlawanan arah. Lintasan kiri berhenti total, bahkan ratusan kendaraan terlihat panjang mengular. New Marcopolo-ku terjerembab dalam antrian, sementara terlihat arak-arakan Rosalia Indah, Haryanto, Raya, Dewi Sri, Nusantara, Bejeu, serta Handoyo menyabet lajur sebelahnya.


Lantaran tak ada tanda-tanda mencair, bus-ku pun ikut-ikutan melanggar rules jalan raya, menyodok ke kanan, menyalip lautan pengguna jasa Pantura, meski akhirnya back to the line.


“Kiri...kiri...Depan polisi...Depan polisi!!!” seru kenek Dewi Sri, dan serentak beberapa bus mematuhinya.


Setelah berkutat dalam kubangan kemacetan di Patokbeusi, terjawab sudah causa prima segala kekacauan ini. Sebuah medium truck pengangkut genteng menabrak truk lain di depannya, sehingga menimbulkan dampak kecelakaan berantai. Masing-masing antara bus SJLU Setra Adi Putro yang menyodomi Kijang Commando, serta bumper Pahala Kencana B 7926 IW mencium pintu kanan Kijang Innova.


Pantas saja separah itu traffic jam-nya.


Ya Allah, ujian apa lagi ini?


Mulai dari kawasan pinggiran Subang ini, mendadak aku dihinggapi seteru abadi para turingers, sakit perut. Aliran udara jahat yang digelontorkan lubang louver AC selama lebih dari 12 jam, tanpa kupersiapan senjata penolaknya, sungguh-sungguh membuat lambungku menyerah, didera masuk angin.


Resah dan gelisah rasanya...


Tak ingin memikul siksa berat yang ditanggung perangkat pencernaan, kuputuskan untuk menyudahi  kiprah burung Garuda yang sepanjang malam berjibaku membantuku dalam menaklukkan arena Pantura.


04.50


“Pak, saya turun sini saja!” request-ku kepada Pak Sopir, saat samar kulihat bangunan dengan list talang warna merah menyala sebagai colour mark sebuah SPBU. Ya...pom  bensin di daerah Cikopo, Cikampek, inilah yang akhirnya membebaskan derita biologisku.


-------


Aku pun hanya bisa merenung...


Apa salahku hingga putus perjuanganku di tengah jalan, sebelum paripurna mencapai tujuan akhir?


Mengapa aku rontok dalam mengemban misi turing bersama bus ekonomi Pati-Jakarta justru pada pengalaman perdana?


Karma dari pemilik bangku eksekutif-kah, gara-gara aku kabur dari zona nyaman?


Apakah dosaku sendiri yang kala itu, jujur saja, setengah hati memilih bus-nya kaum marjinal sebagai sandaran pengiritan?


Ataukah memang ini challenge bagi jiwa ke-busmania-anku, bahwa aku sejatinya belum lulus menggauli kasta ekonomi dan kudu remidi, mengulang lagi, menyetubuhi bus-bus senasib sepenanggungan dengan Garuda Mas? Semisal Bayu Megah atau Sido Rukun.


Ah, entahlah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar