Senin, 11 Februari 2013

S (c) A N (i a) J A Y A (4)

Hari Ke- 30, Bulan Ke-9


“Jrakah ...Krapyak...Kalibanteng...bagi yang mau turun, tolong siap-siap!”


“Kicauan pagi” dari asisten driver sontak membuyarkan lelapku. Wah...mulai menelusup pusat Kota Atlas, saat pendulum waktu mengabarkan pukul 04.05 dinihari. Berarti empat jam sudah aku menyia-nyiakan sajian istimewa berselera, berupa “Battle of Pantura”.   


Masih malas ah, kuremidi lagi ritual pejam mata.


Wuss...wuss...hembusan suara angin yang terbelah akibat efek aerodimanis bodi bongsor bus menyadarkanku kembali. Fajar merah jingga di ufuk timur seakan jadi saksi saat armada yang bersekutu dengan AM Shantika, Shantika Abadi serta Shantika “polos” ini tengah kerja rodi mengejar lampu pistol yang melekat pada pantat Lorena, di lingkar Demak. Cukup ulet dan liat juga aset Ibu Eka Sari itu, tak gampang menyerah meski beda tenaganya menyentuh takaran 150 HP. Berdua kompak saat menyalip Kramat Djati Madura B 7674 XA dan kemudian perwira bintang lima Tajur mementaskan kelihaian menari-nari dengan backing dancer truk-truk barang, di panggung jalan nasional yang saat itu tersita dua lajur untuk proses peninggian serta pengerasan.


Singa bermahkota kok dilawan?


Dan pemeo itu tak bisa diganggu gugat. Di Desa Wonoketingal, Si Ijo berkode jurusan LE-450 Banyuwangi “lempar handuk”, tak mau lagi meladeni sengatan Kalajengking yang dulu menetas di Kota Apel ini.


05.10


“Monggo Pak, Bu, yang mau subuh-an dulu...”


Reminder dari kru sesaat setelah rem parkir diaktifkan, di depan sebuah mushola kecil, tak jauh dari seberang pul Nusantara, Karanganyar. Tak lama berselang, ditemani oleh kompatriotnya se-casing, Scorpion King, H 1713 BC, yang tadi malam di-voor waktu 30 menit-an saat green flag dikibarkan.


Tersusul pula Masterbus itu, yang corak grafisnya mengingatkan pada kereta dinas timnas Brazilia di Piala Dunia 2006, Jerman.


Tak terbantahkan lagi,  produk Swedia ini lagi berjaya!


20 menit kemudian...


Kudus...kudus...terakhir, tak lewat kota...!!!


Demikianlah bunyi syair perpisahan, penanda berakhirnya 10 jam kelekatanku dengan PO yang mengobarkan visi “Concept Transportation” itu.


Adios Scania!!!


***


Seperempat jam sudah aku dibekap rasa bosan menunggu moda penerus langkah menuju bumi pertiwi kecil, Rembang.


Duh, mengapa kalau pas lagi ngga perlu, Sinar Mandiri, Indonesia, Jaya Utama, Widji Lestari, Jawa Indah atau Akas IV terlihat begitu banyak bersliweran di jalanan? Tapi,  giliran butuh, kurasakan headway-nya begitu panjang dan lama, tak beda dengan interval antar Trans Jakarta di waktu pagi. Terakhir kali kulihat PO Widji Lestari berjalan ke timur saat Shantika-ku menunaikan hajat religiusitasnya.


Finally…dari jauh, tampak siluet warna hijau mendekat yang sekilas adalah sosok armada Sinar Mandiri. Namun, semakin detail kuamati, ternyata bukan.


Ah, itu mah identifying object, yang sering kulihat “nyampe” di Terminal Pulogadung lepas isya, setelah mengembara di atas 700 km menuntaskan trek Surabaya-Jakarta. Dialah PO Sanjaya, the other besutan of Restu Group.


“Boyo...boyo...” teriak kenek, dan bus perlahan-lahan berhenti.


Hadeh...nyeser ta?” pikirku.


Hanya satu sewa yang naik, tak sebanding dengan jumlah penumpang yang lumayan berjubel di depan Terminal Jati, Kudus.


Tak puas dengan hasil tangkapannya, dicobanya trik yang lain lagi.


“Tuban…Tuban...” 


Not bad, dua atau tiga orang tergiur bujukannya.


“Rembang...Pati...biasa...biasa...” pekiknya sekali lagi, setelah disadari, lebih banyak komuter jarak pendek yang bersiap untuk dikeruk.


Wuih, sahih nih.


Bergegas kudaki tangga pintu depan, lalu berbondong-bondong diekori belasan penumpang lain. Beruntung, aku langsung disuguhi kursi Super Eksekutif 1-2. Tak ingin membuang waktu, segera kududuki lahan itu, persis di belakang singgasana “sopir kiri”.  Sedikit unik memang, melihat realitas baris kedua hingga kesepuluh berformasi 2-2, justru hotseat-nya dikurangi sebiji, menjelma menjadi 1-2. Tentu mudah ditebak, karena sebagian tergusur “areal makam” yang mengubur gelondong mesin Hino AK3R di bawahnya.


Setali tiga uang dengan habit driver-driver imperium Restu, bus berbody coach Panorama 3 tempaan Laksana langsung menunjukkan tajinya. Nafas tua tapi tetap gahar menantang guliran zaman.


“Widji depan sudah jauh?” tanya pengemudi kepada pedagang asongan yang asyik berjualan, yang kerap didapuk sebagai agen mata-mata bagi kru untuk mengintip  posisi “musuh-musuh” terdekatnya.


“Sudah, Bos, 20 menitan…” timpalnya.


“Untung kita, Cak. Widji 65 belakang kita lagi storing, Sinar Mandiri juga masih jauh!” bilang Pak Sopir, yang raut wajah dan logat kocaknya mirip Cak Bagio, partner pelawak kondang asal Nganjuk, Cak Kirun, membagi berita gembira pada koleganya.


Ajaib juga. Bagaimana “orang di luar link” tahu betul slah antar bus berikut armada serta jam-jam operasional angkutan Semarang-Surabaya.


Di perempatan Tanjung, Kudus, dengan bebas dan leluasa, tanpa perlu takut dipelototi yang punya trayek, beberapa penumpang didapat kembali. Inilah berkah yang dinikmati kendaraan eks bus malam Mandala Sari ini.


Dengan semangat juang yang meletup-letup, para kru berjibaku memecah kepadatan lalu lintas di pagi hari. Driver dengan lincah memainkan lingkar kemudi, sementara kenek tak kenal lelah memberi aba-aba navigasi agar laju bus melenggang mulus.  Sempat kres dan chat singkat dengan bus Sari Indah yang mengarah ke ibukota, di depan Pasar Bareng.


“Kemana, Mas?” colek kondektur di pundakku.


“Rembang, Pak!” sembari kuserahkan selembar duit nominal Rp10.000,00.


Ternyata dugaanku meleset. Bus ini jauh-jauh membuang praktik sarkawi, dengan memberikan reward berupa tiket bergaris coretan pada titik awal dan tujuan akhir yang hendak dimaui penumpang.


Setelah sekian detik menunggu, ternyata tak ada uang kembalian. Tak apalah, beda dua ribu dengan ATB atau bumel. Dari amatanku, N 7058 UG ini boleh dibilang “kelas bisnis”, seat 2-2.  Sangat amat murah dibanding patasnya Jaya Utama atau Sinar Mandiri yang menetapkan tarif Kudus-Rembang di kisaran 25-30 ribu. Apalagi ditambahi hawa AC yang begitu sejuk menerpa kulit plus jok penumpang yang menurutku adalah bikinan Karya Logam, yang empuk, nyaman dan ergonomis. “Selendang clurit” ini jauh lebih mengobral harga.


Dus, ini pengalaman pertama menyetubuhi PO Sanjaya, yang rasa-rasanya, dalam kerangka berpikir akal sehatku, mustahil aku bakal punya “keberanian” untuk mencicipinya. Kalau namanya jodoh, bermula dari ketidaksengajaan, endingnya pun jadian.


Ruas Klaling-Terban tampak ramai lancar, meski tengah diobrak-abrik untuk proses pengecoran badan jalan. Setelah selip-selip, dengan stick tipis-tipis, bertemu dengan rival tangguh yang memberi perlawanan hebat. Medium bus Blue Bird CCB088 serta Bandung Express D 7787 AB jurusan Bandung-Lasem. Cukup alot juga, meski akhirnya bantuan lebar jalan di seputaran Margorejo Pati membuatnya kondusif menumbangkan seteru dadakan pagi itu.


Terminal Puri, Halte Kembang Joyo, Gemeces serta Tugu Sukun Juwana jadi kantong-kantong rezeki bagi bus yang berkapasitas 47 bangku ini.


Ada kejadian menggelikan, saat seorang pelajar minta berhenti di depan SMA Batangan.


“Koen iku piye? Arek sekolah kok diunggahno sisan?” tanya sopir penuh keheranan. (Kamu itu gimana?Anak sekolah kok dinaikan juga?)


“Eling Cak, koen yo duwe arek sekolah” balas sejawatnya dengan bijak, membela diri. (Ingat Cak, kamu juga punya anak sekolah.)


“Mbayar piro?” (Bayar berapa?)


“Sewu…” (Seribu)


Cak Bagio wannabe itupun tersenyum kecut.


Hebat ya anak sekolah era sekarang. Juwana-Batangan pakai bus eksekutif, ongkos ekonomi lagi.


“BRI kiri ya, Pak!” instruksiku saat keenam roda merangsek jantung kotaku tercinta, yang konon katanya, menyimpan kekayaan harta karun dalam cakupan bibir pantai sepanjang 60 km-an ini.


07.10


Grengg…grengg…suara sumbang knalpot itu seolah mengatakan “bye..bye…”, sesaat setelah aku turun di depan bank pemerintah, yang tak jauh dari bangunan tempat istriku berkantor, lokasi di mana dia akan menanti kedatanganku.


Flashback...Hari Ke-27, Bulan Ke-9


Telepon dari permaisuri tersambung, H-2 sebelum hari kepulanganku.


“Pa, motornya jatah di-service nih. Speedo sama kilometer-nya juga mati.” rengeknya. “Kalau bisa, Jumat lah dibawa ke bengkel. Sabtu jelas ngga  bisa, karena kita bla…bla…bla…”


***


Hanya perkara remeh itukah yang jadi pembenaran dalihku untuk mempercepat sehari acara mulih ndeso kali ini?


Namun, aku bersyukur. Dibalik apapun alasanku, toh aku tetap tiada putus disuguhi keelokan dinamika alam Pantura, yang bagiku adalah “little miracle” yang kerapkali membius.


Yup…Scania nan jaya berikut Sanjaya. Pasangan gado-gado yang bersatu padu, bergotong royong, bergandeng tangan, membangun setangkup sensasi yang memorable dalam mengisi diary perjalanan mingguanku kali ini.


Ganda yang luar biasa, dan yang pasti, tak kalah heboh dengan duo Maia-Mey Chan.


180582-10150091503627459-767567458-5891802-3483702-n









Courtesy of Shantika's Lover @ FB Group


atb-sby-jkt


 Courtesy of terminalgadang.blogspot.com



T – a – m – a -- t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar